Allah – Theology
BAB I:
ADANYA ALLAH.
Sebelum Alkitab diwahyukan atau
sebelum Firman Allah itu diberitakan, manusia oleh akal budinya sebenarnya
menyadari adanya Allah. Manusia menyadari adanya Allah karena ia adalah mahluk
satu-satunya di bumi ini yang memiliki roh didalam dirinya. Kesadaran akan
adanya Allah itu belum dalam bentuk baku, teratur dan sistematis. Juga
pembuktian akan adanya Allah itu pada mulanya bersifat tidak langsung dari
wahyu umum.
1. Adanya
Allah menurut manusia itu pertama-tama disimpulkan dari wahyu umum.
Alam semesta ciptaan Allah itu
sebenarnya amat luar biasa. Tanpa terasa oleh manusia, alam semesta itu
ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan yang teratur, harmonis dan
akurat, yang membentuk hukum alam yang maha luas. Sampai sekarangpun manusia
masih mengira-ngira luas dan besarnya jangkauan hukum tersebut. Alam semesta
inilah yang sebenarnya merupakan pernyataan Allah secara umum tentang adanya
Dia; sehingga dikenal dalam dunia theologia dengan istilah wahyu umum, “General
Revelation”, Roma 1:19-20; Mazmur 19:2. Manusia sejak zaman purbakala sudah
mengenal serta mengalami bagian kecil dari kekuatan hukum alam itu. Hujan,
panas matahari, angin, gempa bumi, letusan gunung berapi, dan lain-lain,
merupakan gejala alam dalam percikan kekuatannya yang tak dapat ditandingi oleh
manusia itu sendiri. Dari sinilah awal mula manusia mulai menyadari adanya
informasi dari luar dirinya tentang adanya Allah, walaupun masih sederhana dan
bersifat umum sekali.
1.1
Manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar.
Walaupun dalam rohnya, manusia
menyadari adanya Allah, tetapi tanpa pertolongan informasi dari luar dirinya
sendiri, ia tidak akan mampu memahami secara akali tentang Allah yang benar
itu, 1 Yohanes 5:20. Hal itu disebabkan karena :
a. Dosa
manusia itu yang memisahkannya dari Allah.
Oleh dosa, semua manusia sudah
kurang kemuliaan dari Allah, Roma 3:23. Terjadi ketidak seimbangan dalam roh,
jiwa dan tubuh manusia. Itulah sebabnya manusia duniawi (manusia yang belum
dijamah oleh pekerjaan Firman dan Roh Kudus), tidak dapat mengenal Allah yang
benar karena tidak menerima apa yang berasal dari Roh Allah, 1 Korintus 2:14.
b. Adanya
perbedaan substansial manusia dan Allah, Yesaya 55:9.
Sejak manusia jatuh ke dalam dosa,
perbedaan substansial itu ternganga menjadi jurang yang tak terseberangi.
Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
Manusia: Allah:
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Kelihatan Tidak kelihatan
Fana Kekal
Terbatas Tidak terbatas
Dengan perbedaan yang hakiki ini,
tanpa bantuan informasi dari luar dirinya, manusia itu sendiri tidak akan
sanggup memahami Allah yang benar itu.
c. Setan
berusaha mengikis habis informasi yang benar tentang Allah.
Setan tahu bahwa waktu penghukuman
baginya sudah dekat. Wahyu 12:12. Yesus sendiri memberi perumpamaan bagaimana
giatnya setan berusaha mengikis habis benih yang benar tentang Allah, Matius
13:19cf.
d.
Pengalaman manusia itu sendiri.
Alkitab mencatat, bahwa Kain itu
bukanlah orang yang tidak mengenal Allah. Kejadian 4:3. Tetapi oleh kekerasan
hatinya ia memilih jalannya sendiri dan makin jauh dari Allah, Kejadian 4:16;
Yudas 1:11. Keturunannya menjadi orang-orang yang tak mengenal Allah. Keturunan
Nuh pun mempunyai pengalaman yang serupa. Hal itu terjadi berulang-ulang dalam
sejarah. Memang kedagingan manusia, mencondongkan manusia kepada dosa, Kejadian
6:5; Roma 7:22-23cf, yang makin menjauhkan manusia dari pengenalan akan Allah.
1.2.
Pertama-tama Allah menyatakan keberadaanNya kepada manusia lewat wahyu umum.
Sudah jelas bahwa bumi adalah
sebagian kecil dari alam semesta ciptaan Allah. Sedangkan bumi dengan segala
isi ciptaan itu diadakan bagi tempat kediaman manusia, Kejadian 2:4-7; Mazmur
115:16; Yesaya 45:18. Tujuan semuanya ini supaya manusia mengenal Allah,
memuliakanNya, dan bersyukur kepadaNya, Roma 1:21. Sebenarnya hal utama yang
dapat dipelajari manusia dari alam semesta ini adalah kekuatan, kebesaran,
kekekalan dan harmoninya hukum alam. Semua kebijaksanaan itu secara tidak
langsung kelak membawa manusia kepada perancang bahkan sumber dari segala
sesuatu: “Sang Pencipta”.
1.3.
Akibat negatif bila wahyu umum tidak dilengkapi dengan wahyu khusus.
Sejarah mencatat bahwa dari
merenungkan kekuatan, kebesaran, kekekalan dan harmoninya hukum alam, para
orang bijak zaman purba mencari Allah didalamnya. Dari hasil pemikiran jenius
mereka, dirumuskanlah kesimpulan-kesimpulan tentang Allah. Inilah cikal-bakal
agama-agama dunia; agama-agama alam; natural religion. Allah bagi mereka
digambarkan sesuai dengan jalan pikiran mereka, sehingga muncullah berbagai
ragam allah-allah.
Wahyu khusus – special revelation,
adalah Alkitab yang diilhamkan Allah. Dalam Alkitablah Allah yang benar itu
dinyatakan. Bila wahyu umum tidak dilengkapi oleh wahyu khusus, maka akibat
negatifnya yakni manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar. Hal itu
terbukti dari begitu banyaknya agama atau aliran kepercayaan manusia di dunia
ini.
2. Adanya
Allah itu tidak mampu disangkal oleh manusia. Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
Walaupun manusia dari dirinya
sendiri tidak mampu mengenal Allah yang benar, bahkan akhirnya banyak orang
yang menyangkal keberadaan Allah, tetapi manusia hanya dapat berargumentasi
dengan dirinya sendiri. Adanya Allah yang tercermin dalam wahyu umum itu tidak
dapat disangkal oleh manusia. Berbagai kesaksian dari luar manusia memberi
gambaran adanya Allah, Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20.
3. Adanya
Allah dalam argumentasi.
Suatu
kewajiban orang percaya untuk memberi jawaban kepada siapa saja tentang
imannya, 1 Petrus 3:15. Kewajiban kita untuk berapologia dengan memberi
argumentasi bahwa Allah ada:
3.1 Argumentasi Kosmologis.
Kata ‘kosmos’ itu berarti ‘dunia’;
dan dapat juga berarti ‘alam semesta – universe’. Argumentasi kosmologis itu
menunjuk kepada alam semesta, kemudian berupaya membuktikannya dari hukum sebab
akibat. Keberadaan dari akibat itu senantiasa menunjuk pada keberadaan dari
sebabnya. Alam semesta itu ternyata bergerak dan digerakkan oleh suatu kekuatan
yang teratur, harmonis dan akurat, yang membentuk suatu hukum alam yang maha
luas dan dahsyat.
Bila alam semesta yang digambarkan
tadi adalah akibatnya, menjadi pertanyaan: ‘Apa’ atau lebih tepat ‘siapakah’
penyebab dari semua ini? Manusia memang tidak dapat menjawab pertanyaan besar
ini. Berbagai hypothesa telah diteorikan oleh para ahli astronomi dan ilmu
pengetahuan alam, tetapi semuanya tidak memuaskan. Alamlah sendiri yang menjadi
saksi bahwa penyebab awal – causa prima dari semua ini adalah Allah, Sang
Pencipta itu, Kejadian 1:1; Mazmur 19:1-5; Roma 1:19-20; Ibrani 11:3.
3.2 Argumentasi Teleologis.
Argumentasi ini adalah pembuktian
dari bentuk dan tujuan. Tidak sekedar bahwa alam semesta itu ada, tetapi alam
semesta dan isinya itu mempunyai bentuk sempurna dan mempunyai fungsi tertentu,
sesuai peran penciptaannya. Masing-masing ciptaan yang tak terhitung jumlah dan
jenisnya dalam alam ini menunjuk pada maksud penciptaannya dan masing-masing
mempunyai peran tertentu, bahkan kesemua ciptaan itu ada dalam harmoni satu
dengan yang lain.
Alam semesta – Bima Sakti – Melky
Way System diciptakan sedemikian rupa, sehingga tata surya kita merupakan satu
dari sekian juta tata surya yang ada dalam sistem alam semesta ini. Kemudian
bumi ini merupakan planet teristimewa dalam susunan tata surya kita. Sedangkan
planet bumi ini diciptakan sedemikian rupa, dilindungi oleh sistem perlindungan
sedemikian rupa, diisi oleh tak terbilang jenis ciptaan dalam kontrol hukum
yang harmoni satu dengan lainnya; sehingga manusia dapat hidup di dalamnya.
Menjadi pertanyaan: Siapakah yang
merancang segala sesuatu ini dengan sempurna? Apakah sebenarnya tujuan
penciptaan segala sesuatu ini? Dapatkah manusia mengukur intelegensia dari sang
perancang semua ini? Argumentasi dari bentuk dan tujuan adanya ‘suatu’ yang
jauh melebihi inteligensia manusia, Yesaya 55:8-9, bahkan tanpa batas, yang
lebih besar dari alam semesta, 2 Tawarikh 6:18.
3.3 Argumentasi Antropologis.
Kata’anthropos’ dalam bahasa Grika
berarti ‘manusia’. Dari keberadaan manusia itu sendiri argumentasi ini bertitik
tolak. Manusia adalah ‘master piece’ dari tindakan penciptaan Allah. Manusia
yang diciptakan dalam gambar Allah menjadi mahkota kemuliaan dari segala
ciptaan, Kejadian 1:1-28; Mazmur 94:9. Manusia jauh lebih berkuasa dari pada
gabungan seluruh binatang ciptaan. Seekor monyet yang paling sempurna tidak
dapat dibandingkan dengan manusia dalam keseluruhan keberadaannya. Teori
evolusi sebenarnya adalah usaha untuk melepaskan manusia dari kelayakan dan
pertanggung-jawaban kepenciptaan bagi dirinya. Manusia yang cerdas adalah salah
satu argumen terbesar bagi adanya Allah yang cerdas pula. Bermilyard-milyard
umat manusia, masing-masing berbeda dan unik, pun semua dasar kepenciptaan
mereka, membuktikan adanya seorang pencipta.
3.4 Argumentasi Ontologis.
Ontologi adalah bagian dari isi filsafat
yang mempelajari tentang keberadaan yang hakiki dari sesuatu. Ontologi datang
dari kata Grika ‘ontos’ yang berarti ‘yang sedang berada’. Argumentasi
ontologis dihubungkan dengan argumentasi anthropologis, yakni yang membicarakan
keberadaan hakiki dari manusia itu.
Manusia bukan hanya sekedar ciptaan
yang cerdas belaka, ia juga adalah mahluk yang secara intuitif percaya dan
mengetahui akan adanya Allah. Intuisi berbicara tentang pemahaman atau
pengetahuan dimana manusia memilikinya tanpa proses berpikir. Manusia
mengetahui secara intuitif bahwa ada Allah. Ia dilahirkan dengan pengetahuan
ini di dalam dirinya. Kadang-kadang hal ini disebut sebagai agama instink di
dalam manusia, yang membuatnya ingin menyembah sesuatu atau seseorang. Manusia
diciptakan untuk menjadi seorang penyembah untuk menyembah Allah. Manusia tidak
akan ingin menyembah Allah bila Allah tidak menaruh di dalam manusia itu
pengetahuan intuitif tentang keberadaanNya sendiri.
Argumentasi menjadi hakiki oleh
fakta adanya suatu keyakinan universal pada ‘satu allah’ atau ‘allah-allah’
dalam setiap bangsa pada permukaan bumi ini. Apabila manusia tidak menerima
atau mendapatkan Allah yang benar, ia membuat allah/dewa bagi dirinya sendiri
untuk disembah, untuk memuaskan pengetahuan instinktifnya itu.
Percaya akan Allah bukan hanya
sekedar hasil dari kondisi budaya. Secara ontologis, manusia tercipta dalam
roh, jiwa dan tubuh. Dari aspek rohnya inilah muncul secara intuitif kesadaran
dan pengetahuan akan adanya Allah, Kisah Para Rasul 17:23-24; Roma 1:18-32;
Yohanes 1:3-7; Mazmur 115:1-8.
3.5 Argumentasi Moral.
Etika adalah pengetahuan yang
mempelajari baik atau buruk perbuatan manusia dilihat dari sistim nilai
tertentu. Moral adalah tindakan baik atau buruk manusia itu sendiri. Manusia
adalah mahluk moral. Ia memiliki suatu perasaan hakiki tentang baik atau buruk,
benar atau salah, sebaik perasaan tentang pertanggung-jawaban untuk mengikuti
apa yang benar dan menolak apa yang salah. Alkitab menamainya ‘suara hati –
conscience’ dan memandangnya sebagai pemberian Allah.
Apabila manusia melanggar suara
hatinya, ia tunduk pada kejahatan dan suatu rasa takut akan penghukuman.
Walaupun kata hati itu dapat dikondisikan atau dilatih dengan arahan-arahan
berbeda, kata hati itu tetaplah suatu yang umum pada manusia secara inheren.
Kata hati itu bersifat universal, dan menjadi saksi tentang keberadaan dari
suatu pemberi hukum dan hakim tertinggi, yang menciptakan di dalam manusia rasa
pertanggung-jawaban bagi kebenaran ini, Roma 2:14-15; 1 Timotius 4:2; Titus
1:15; Ibrani 9:14; Yohanes 8:9.
3.6 Argumentasi Biologis.
Kata Grika ‘bios’ berarti ‘hidup’.
Kata ini merupakan suatu fakta ilmiah dimana hidup itu hanya dapat datang dari
hidup yang sudah ada sebelumnya, tidak semata-mata dari benda. Hal itu mengusut
semua kehidupan kembali kepada sumbernya. Akhirnya kita harus kembali kepada
Allah sendiri. Harus ada sesuatu yang menjadi sumber utama kehidupan itu. Asal
muasal dari semua kehidupan dan pemilik dari kehidupan asal dan kekal dari Dia
sendiri. Sumber kehidupan itu ialah Allah, Mazmur 36:10; Yohanes 11:25; 14:6;
10:28; 1:1-5.
3.7 Argumentasi Historis.
Sejarah manusia menunjuk pada satu
tangan yang tak kelihatan, yang membimbing, mengatur dan mengawasi nasib
bangsa-bangsa. Sebagai contoh, Babylon jatuh pada suatu malam ketika para
tentara lupa menutup pintu-pintu pada dinding yang melaluinya air sungai besar
Efrat mengalir. Nabi-nabi Allah telah mengatakan ini sebelumnya, lebih seratus
tahun sebelum hal ini terjadi, Yesaya 45:1-5; Daniel 5. Suatu penelitian seksama
dari sejarah akan mengungkapkan beberapa ilustrasi dari fakta ada tangan Allah
yang bergerak untuk menyelesaikan kehendakNya, Wahyu 17:17. Sejarah membuktikan
adanya Allah yang mengawasi jalannya sejarah.
3.8 Argumentasi Kristologis.
Satu dari argumentasi-argumentasi
terbesar adalah argumentasi Kristologis. Kristus yang historis adalah suatu
fakta; dan adalah tidak mungkin untuk menggambarkan pribadi dari Yesus Kristus
terpisah dari adanya Allah. KelahiranNya dari perawan, kehidupanNya yang tanpa
dosa, mujizat-mujizat, pengajaran, kematian, penguburan, kebangkitan dan
keangkatanNya ke Surga yang kesemuanya itu tak mungkin dijelaskan terpisah dari
Allah. Yesus Kristus adalah wahyu terbesar dari adanya Allah. Semua
keberadaanNya, semua perbuatanNya, dan semua yang Ia katakan, membuktikan
adanya Allah, Yohanes 1:1-3, 14-18; 14:6-9; 1 Timotius 3:16; Ibrani 1:1-3; 1
Yohanes 1:1-3.
3.9 Argumentasi Bibliologis.
Alkitab adalah saksi untuk
keberadaan Allah. Dalam penjelasan Doktrin Pewahyuan, Alkitab melampaui semua
tulisan lain yang diwahyukan secara ilahi; tidaklah mungkin bagi kitab-kitab
itu menjadi sekedar produksi kemanusiaan belaka. Semua kitab itu membuktikan
keberadaan dari suatu kecerdasan yang lebih tinggi yang secara berdaulat
membimbing para penulis dalam tugas mereka menulis kitab-kitab itu. Sebagai
saksi yang tak mungkin keliru dari semua yang Alkitab ungkapkan tentang Allah,
sifat dasarNya dan maksud-maksudNya harus diterima seakurat mungkin.
3.10 Argumentasi Keharmonisan
Kata ‘harmoni’ sebenarnya berarti
‘sesuai, seimbang, serasi’. Kesembilan argumentasi yang ada sebelum ini
semuanya ada dalam kesesuaian. Ada keseimbangan dan keserasian diantara semua
itu. Tidak ada satupun argumentasi yang telah diungkapkan itu membawa suatu
pemahaman yang bertentangan, tetapi semua argumentasi itu membentuk suatu
keharmonisan secara keseluruhan. Inilah argumentasi dari keharmonisan itu.
Fakta bahwa argumentasi Kosmologis, Theologis, Anthropologis, Ontologis, Moral,
Biologis, Kristologis dan Bibliologis, semuanya tercampur bersama dalam
keharmonisan.
Semuanya itu berbicara tentang
adanya Allah dan bila tidak demikian maka semua fakta yang menghubungkannya
satu dengan yang lain itu tidak dapat dijelaskan. Percaya kepada keberadaan
dari pribadi Allah yang ada dengan sendirinya adalah dalam harmoni dengan semua
fakta tentang sifat mental dan moral manusia; sebagaimana juga dengan sifat
dari materi alam semesta. Manusia sungguh-sungguh tidak dapat menolak fakta
tentang adanya Allah. Hanyalah suatu kedunguan yang disengaja bila orang mau
menolak bukti kesimpulan yang ada ini.
4.
Kebutuhan intrinsik manusia untuk mengenal Allah yang benar.
Menunjuk pada argumentasi
anthropologis, ternyata secara umum, didalam hatinya manusia mempunyai suatu
kebutuhan untuk mengenal Allah yang benar. Alkitab mencatat bahwa manusia
terdiri dari roh, jiwa dan tubuh, Kejadian 2:7; 1 Tesalonika 5:23.
Masing-masing bagian manusia itu mempunyai fungsinya sendiri-sendiri, tetapi
substansi manusia ada pada rohnya, Yohanes 6:63; Yakobus 2:26. Dengan tubuhnya,
manusia bereksistensi di dunia ini, menjadi mahluk alamiah, Kejadian 2:7; 1
Korintus 25:44-50; dan mahluk biologis, Kejadian 1:27-28. Jadi, dengan tubuhnya
manusia ada kontak dengan alam lingkungannya. Dengan jiwanya, manusia menyadari
kemanusiaan dan pribadinya, sehingga dengan demikian ia dapat berkomunikasi dan
bersosialisasi dengan mahluk-mahluk lain dalam dunia. Dengan rohnya, manusia
menyadari dimensi rohaninya; dan dengan rohnya manusia dapat berkomunikasi
dengan dunia roh.
Dengan roh yang menjadi substansi
manusia, ternyata manusia itu secara intrinsik butuh pengenalan akan Allah.
Sejarah perkembangan budaya membuktikan bahwa semua bangsa di dunia ini
mempunyai latar belakang keyakinan terhadap dunia rohani. Tetapi oleh karena
dosa, manusia tidak dapat menemukan Allah yang benar; itulah sebabnya manusia
menciptakan berhala bagi dirinya sendiri, Roma 1:21-23; Ulangan 4:16-18. Bila
manusia tidak puas dengan berhala dan ia merasa mampu atau kuat, ia menjadikan
dirinya sendiri berhala. Atheisme modern pada dasarnya adalah upaya manusia
menolak keberadaan Allah yang benar dan menjadikan dirinya sendiri allah dalam
pikirannya sendiri. Pengkultus-individuan seseorang itu sebenarnya menjadikan
seseorang itu idola; apakah ia seorang politikus, artis, musisi dan lain-lain.
Orang-orang memuji-muji sang idola itu secara berlebih-lebihan. Alkitab
mencatat, berhala itu ditulis dengan kata ‘idol’.
Secara
tegas Alkitab memperingati orang-orang percaya: “Anak-anakku, waspadalah
terhadap segala berhala – idol”. Hal itu ditegaskan oleh Alkitab karena
kecenderungan manusia, oleh kebutuhan intrinsiknya untuk mengenal Allah yang
benar. Bila karena dosa lalu manusia itu tidak dapat menemukan Allah yang
benar, ia akan mencari objek lain untuk disembah.
BAB II:
ALLAH YANG MEWAHYUKAN DIRI-NYA SENDIRI
Allahlah yang berinisiatif
memperkenalkan diriNya sendiri kepada manusia. Ibrani 1:1 jelas menulis bahwa
‘sejak zaman purba Allah berulang kali dan dalam berbagai cara berbicara.”
Berbicara langsung, Kejadian 18:1-33; Bilangan 12:8; melalui penglihatan,
Yehezkiel 1:1; Bilangan 12:6; Zakaria 1:7-8; Daniel 2:18; lewat mimpi, Daniel
2:1, 24; Matius 1:20; 2:13,19; dengan tanda-tanda ajaib, Keluaran 19:16-19;
20:18, 21; Oleh bimbingan Roh Kudus, Matius 16:17; Kisah Para Rasul 6:10; Juga
dalam berbagai penampakan, Kejadian 32:22-30; Hakim 13:1-23; Daniel 5:5. Bahkan
Allah sendiri dalam diri Anak Tunggal-Nya menyatakan diri, Ibrani 1:2; I
Yohanes 1:1-3; Yohanes 7:16; 12:49.
Kesemua ini ditambah dengan uraian,
penjelasan, ungkapan, kejadian penting bagi sejarah dunia, direkam Allah dan
diilhamkan kepada para hambaNya, Yesaya 34:16; II Timotius 3:16; dalam bentuk
tulisan yang kita kenal dengan istilah Alkitab. Itulah wahyu khusus – special
revelation. Beginilah Allah memperkenalkan diriNya sendiri kepada manusia;
yakni dengan mewahyukan diriNya sendiri. Bila tidak demikian, tidaklah mungkin
manusia mengenal Dia dengan benar.
1. Wahyu
khusus
adalah untuk mengungkapkan kepada
manusia siapakah Allah itu. Firman Allah yang tertulis atau Alkitab itu disebut
wahyu khusus, karena melaluinya secara khusus Allah mewahyukan diri-Nya kepada
manusia. Cara Allah berbicara kepada manusia yang memakan waktu ribuan tahun
itu, tidak akan dapat diikuti manusia yang umur rata-ratanya tidak sampai satu
abad itu. Tetapi dengan mengilhamkannya dalam bentuk tulisan, maka manusia
dapat mempelajari siapa Allah itu dari informasi tertulis yang lengkap.
1.1
Alkitab sebagai media pengajaran satu-satunya tentang Allah -Theologia proper.
Kerinduan manusia untuk mempelajari
Allah, melahirkan berbagai spekulasi filosofis, baik yang disampaikan secara
lisan maupun secara tertulis; menggambarkan siapa Allah menurut versi mereka
masing-masing. Setiap agama dan kepercayaan mempunyai gambaran sendiri-sendiri
tentang Allah, tetapi hanya merupakan upaya menusia memahami secara tidak
langsung lewat wahyu umum.
Tetapi untuk mempelajari Allah yang
benar itu, hanyalah Alkitab sumber satu-satunya yang benar dan dapat dipercaya.
Karena Alkitab itu diwahyukan Allah kepada manusia untuk menjadi media
pengajaran formal satu-satunya tentang Allah. Alkitab dalam Firman Allah dan
Firman Allah itu adalah kebenaran – the truth, Yohanes 17:17. Itulah sebabnya
pengetahuan tentang Allah dengan dasar satu-satunya sumber informasi – Alkitab
– disebut theologia proper, secara harafiah berarti: pengetahuan tentang Allah
yang sebenar-benarnya.
1.2
Alkitab yang diwahyukan dijamin benar dan menjadi jaminan.
Sebagai satu-satunya sumber yang
benar dan dapat dipercaya dalam mempelajari pengetahuan tentang Allah, ada dua
sifat azasi Alkitab yang perlu dijelaskan secara singkat, sebagai dasar
pengajaran, yakni:
a. Alkitab itu tidak pernah salah
(inerrancy).
Sifat pewahyuan Alkitab itu
dibuktikan dari keadaan Alkitab itu sendiri yang tidak pernah salah. Dari
berbagai kesaksian dari para penyelidik Alkitab ini, selalu dibuktikan
kebenarannya. Sebagai contoh: Tidak satupun tempat yang disebut dalam Alkitab
lalu tidak dapat dibuktikan oleh ilmu purbakala. Sifat-sifat alam yang ditulis
Alkitab; angin, arus laut, musim, flora, fauna dan seterusnya, semuanya benar.
Informasi sejarah begitu akurat. Apalagi informasi tentang sifat manusia dan
kemanusiannya, semuanya tepat.
Ada beberapa hal yang sukar dipahami
dalam Alkitab, tetapi hal itu karena keterbatasan manusia itu sendiri untuk
memahaminya dan satu demi satu mulai terungkap. Ada beberapa hal yang belum
terbukti; hal itupun karena Alkitab bersifat nubuatan dan hal-hal itu mulai
tergenapi satu demi satu. Ada halangan-halangan lain yang berupa kesulitan
penerjemahan bahasa; hal itupun dapat teratasi satu demi satu oleh para ahli
yang dibimbing oleh Roh Kudus.
Alkitab itu tidak pernah salah
(inerrancy); dijamin benar untuk menjadi sumber satu-satunya bagi mereka yang
mau belajar mengenal Allah yang benar.
b. Alkitab itu otoritas tertinggi
(sola scriptura).
Ada banyak pandangan, penafsiran
atau ajaran tentang Allah; tetapi semuanya harus dirujukkan kebenarannya dengan
Alkitab. Sebab Alkitablah yang menjadi ukuran satu-satunya sehingga menjadi
otoritas tertinggi. Apa saja pendapat, pandangan, penafsiran ataupun ajaran
yang tidak sesuai dengan Alkitab, harus ditolak. Hal itu prinsipil, supaya
manusia tidak tersesat.
Tuhan Yesus menjadikan Alkitab
sebagai ukuran, Matius 4:4,7,10; Lukas 24:44-48. Para Rasul-pun menjadikan
Alkitab itu ukuran satu-satunya, Kisah Para Rasul 1:20; 2:16cf; Roma 1:17;
4:6cf; 1 Petrus 2:7,10. Bapa-bapa Gereja menjadikan Alkitab itupun ukuran
satu-satunya. Inilah yang disebut dengan prinsip sola scriptura.
Alkitab itu adalah otoritas
tertinggi. Semua penafsiran, ajaran atau pendapat, harus merujuk kepada
Alkitab. Konsekuensinya yakni semua penafsiran, ajaran atau pendapat yang tidak
sesuai dengan Alkitab itu, harus ditolak.
1.3. Allah sendiri membela kebenaran
Alkitab dengan memberi bukti.
Setan tahu bahwa poros pengajaran
tentang Allah ada dalam Alkitab. Sejarah mencatat, orang-orang yang dipakai
setan berusaha membelokkan sejarah bahkan berusaha memusnahkan Alkitab. Tetapi
Allah sendirilah yang melindungi ilham-Nya itu sehingga tetap utuh untuk
menjadi kesaksian sepanjang zaman, Yesaya 34:16; Yeremia 36:1-32; Matius 5:18;
24:35; Lukas 16-17.
a. Bukti sejarah penyusunan Alkitab.
Dari pembuktian sejarah dan
naskah-naskah kuno, dapat dibuktikan bahwa Allah sendirilah yang melindungi
naskah-naskah kuno penulisan wahyu Allah yang awal. Penemuan naskah-naskah kuno
gua Qumran di tepi Laut Mati, merupakan bukti otentik. Naskah-naskah kuno yang
tetap terpelihara itulah yang memungkinkan Alkitab terkumpul seperti yang ada
sekarang ini.
b. Bukti sejarah dunia dalam kaitan
dengan Alkitab.
Sejarah dunia mencatat bahwa semua
usaha manusia untuk memusnahkan Alkitab itu selalu gagal. Manusia memang tidak
mungkin memusnahkan Firman Allah itu.
1.4 Manusia yang terbatas itu harus
percaya pada keterangan Alkitab, bila ia rindu mengenal Allah yang benar.
Orang yang tidak percaya Firman
Allah itu tidak akan berjumpa Yesus Juruselamat dan tidak mendapatkan
keselamatan itu. Orang yang tidak menerima keselamatan dari Yesus Kristus,
tidak akan mengenal Allah yang benar, Yohanes 5:38-40. Untuk mengenal Allah
dengan benar memang ada prosesnya. Kunci awal pembuka pengenalan akan Allah
adalah percaya.
a. Iman timbul dari mendengar Firman
Allah, Roma 10:17.
Sudah dijelaskan di depan bahwa
orang mengenal Allah dengan keyakinan. Sedangkan keyakinan yang benar – iman –
berdasarkan Firman Allah, Roma 10:17. Iman adalah konsep kebenaran (the truth)
yang didasarkan pada Firman Allah. Jadi iman kepada Allah adalah
kebenaran-kebenaran tentang Allah yang didasarkan pada Firman Allah.
b. Tanpa iman, tidak mungkin orang
berkenan kepada Allah, Ibrani 11:6a.
Sudah jelas, bahwa tanpa konsep
kebenaran Firman Allah, tidak seorangpun berkenan kepada Allah. Manusia tidak
dapat mencari Allah dengan kebenarannya sendiri, Yudas 1:11. Allah hanya
berkenan ditemui lewat konsep kebenaran Firman Allah itu sendiri.
c. Siapa berpaling kepada Allah,
harus percaya bahwa Allah ada, Ibrani 11:6b.
Percaya merupakan respons seseorang
secara pribadi kepada konsep kebenaran Firman Allah itu, Roma 10:16. Contoh
terbesar adalah orang-orang Yahudi itu. Walaupun mereka mempunyai konsep
kebenaran Firman Allah, mereka beriman; tetapi ketika kebenaran itu sendiri
datang, mereka tidak percaya, Yohanes 1:11; 3:18,36; 6:36, 66; 10:25.
Berbeda dengan Abraham bapa orang
beriman. Ketika Firman Allah datang padanya, ia memberi respons positif;
Abraham percaya kepada Allah melalui FirmanNya, Roma 4:3; Kejadian 15:1-6. Jadi
percaya adalah tindakan manusia merespons Firman Allah secara positif dengan
menerima Firman Allah dengan segenap hati. Untuk memulai pengenalan akan Allah,
maka seseorang harus percaya sesuai Firman Allah bahwa Allah ada dan memberi
pahala kepada mereka yang mencarinya.
2. Allah
menurut Alkitab – Allah yang mewahyukan diriNya kepada manusia.
Awal dari Alkitab adalah pernyataan
awal Allah tentang diriNya sendiri. Awal dari Firman tertulis itu adalah
deklarasi awal tentang Allah. Dari sinilah awal dari pengetahuan tentang Allah
itu.
2.1 Allah memperkenalkan diriNya
sendiri secara bertahap dan progresif kepada manusia.
Inilah prinsip utama belajar tentang
Allah. Allah tidak menyatakan diri sekaligus kepada manusia, melainkan bertahap
dan progresif. Perlu dicamkan bahwa tahapan dan perkembangan maju dari
pernyataan Allah tentang diri-Nya itu memakan kurun waktu ribuan tahun. Umur manusia
tidak seperti itu. Itulah sebabnya tahapan dan perkembangan tersebut dicatat
dalam Alkitab untuk kelak menjadi kesaksian bagi manusia dan kemudian dapat
dipelajari oleh manusia itu.
2.2 Perkenalan pendahuluan,
Kejadian 1:1. Kejadian 1:1 itu bukan
sekedar awal dari pernyataan Allah tentang diriNya sendiri, melainkan sekaligus
sebagai dasar pengenalan akan Allah. Dari dasar inilah, secara bertahap dan
progresif Allah memperkenalkan diriNya kepada manusia makin dalam dan luas.
2.3. “Allah” dalam Kejadian 1:1.
Kata ‘Allah’ dalam Kejadian 1:1 itu
merupakan subjek kalimat dari ayat itu. Karena merupakan subjek atau pokok dari
kalimat itu, maka kata ‘Allah’ itulah yang lebih dahulu dijelaskan singkat.
Kata ‘Allah’ itu sebenarnya
diterjemahkan dari kata ELOHIM (Ibrani), GOD (Inggris). Kata ELOHIM itu berarti
‘Maha Kuasa’ – Almighty (Inggris). Jadi kata Allah disini lebih menunjuk pada
sifatNya, yakni sifat kemaha-kuasaan itu dan belum menunjuk pada pribadi.
Walaupun nanti akan diuraikan lebih
luas, tetapi sudah perlu dimulai disini sebagai pembukaan: Kata ‘Allah’ dalam
bahasa Indonesia itu sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Tetapi secara
gramatikal, kata tersebut adalah kata benda tunggal – singular. Sedangkan kata
ELOHIM itu mengandung makna jamak – plural. Dalam kandungan makna jamak inilah
pemahaman Bapa, Putra dan Roh Kudus dapat dijelaskan kelak.
Tetapi bukan karena kata ELOHIM itu
mengandung makna jamak lalu Allahnya Alkitab itu banyak dan agamanya Alkitab
menjadi Polytheisme. Melainkan Alkitab dengan tegas mengajarkan: “Dengarkanlah,
hai orang Israel : TUHAN itu Allah kita. TUHAN itu esa !” Ulangan 6:4. Dengan
demikian, kata ELOHIM itu bila menunjuk pada Allahnya Alkitab, tidak akan
diterjemahkan menjadi ‘Allah-Allah’ atau ‘Gods’ (Inggris), melainkan tetap
diterjemahkan dengan kata ‘Allah’ atau ‘God’ (Inggris).
Jadi sejak awal, secara implisit,
Allahnya Alkitab itu sudah bersifat unik – tidak ada duanya – tidak ada
persamaannya. Yesaya menulis: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah ? .
. .”, Yesaya 40:18.
2.4. ‘Pada mulanya’ , dalam Kejadian
1:1.
Kata ini dalam bahasa aslinya
mengandung makna waktu. Sedangkan waktu dalam pemahaman ini adalah kekekalan
masa lampau, karena manusia tidak tahu berapa jauhnya masa lampau itu. Melihat
rangkaian kata itu dalam kalimatnya, maka kata ‘pada mulanya’ itu, bukanlah
keterangan untuk kata Allah, melainkan keterangan untuk kata-kata ‘langit dan
bumi’.
2.5. ‘Pada mulanya Allah’, dalam
Kejadian 1:1.
Kata-kata ini membawa pemahaman
bahwa Allah terkait dengan masa lalu. Tetapi karena kata ‘pada mulanya’ itu
lebih menunjuk sebagai keterangan untuk kata-kata ‘langit dan bumi’, menjadi
jelaslah pemahaman bahwa Allah itu sudah ada sebelum dimulainya ukuran
kekekalan masa lampau itu. Waktu itu memang menunjuk pada kefanaan akibat dosa.
Jadi sebelum ada ide tentang waktu, Allah sudah ada.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada
mulanya Allah’ itu ternyata merupakan pernyataan tegas dari Allah sendiri untuk
menihilkan isme-isme tentang allah lainnya, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan
atheisme.
b. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan animisme.
c. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan polytheisme.
d. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan dualisme.
b. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan animisme.
c. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan polytheisme.
d. ‘Pada mulanya Allah’; menihilkan dualisme.
2.6. ‘Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’, Kejadian 1:1.
Ayat ini sungguh-sungguh menunjukkan
kedaulatan Allah dalam bertindak. Di dalam Allah-lah segala takdir berawal,
sebab Ia maha kuasa dan sekaligus berdaulat. Tetapi orang tidak boleh
memikirkan takdir sedemikian rupa sehingga Allah ditempatkan sebagai penguasa
lalim yang semena-mena menetapkan nasib (fatum, Latin) seseorang – fatalisme.
Orang seperti itu tidak memahami keseluruhan sifat-sifat Allah. Penafsiran
seperti itu sungguh amat naif dan menyesatkan banyak orang. Allah harus dilihat
dari seluruh sudut pandang yang diperkenankan oleh Alkitab. Untuk itulah
Alkitab ada dan Kejadian 1:1 ini baru merupakan awal perkenalan tentang Allah.
Masih ada pemahaman-pemahaman lain
lagi dengan kata ‘mencipta’ dan ‘langit dan bumi’. Tetapi karena uraian ini
lebih tertuju pada pengungkapan tentang Allah, maka pemahaman yang berkaitan
dengan kata-kata tersebut belum perlu diuraikan disini.
Pernyataan Alkitab tentang ‘pada
mulanya Allah menciptakan langit dan bumi’, ternyata merupakan pernyataan tegas
dari Allah untuk menihilkan isme-isme filosofies yang membinasakan umat
manusia, misalnya:
a. ‘Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’; menihilkan fatalisme.
Paham fatalisme ini meyakini bahwa
nasib manusia itu ditentukan oleh penentuan yang ada diluar dirinya sendiri,
tanpa ia dapat mengubahnya lagi. (Catatan: Apa bedanya dengan paham
Predestinasi dalam Calvinisme?). Penentuan nasib manusia menurut fatalisme itu
datang dari kekuatan alam semesta itu sendiri.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini,
paham fatalisme itu dinihilkan. Alam semesta ini diciptakan oleh Allah. Jadi
bukan alam semesta yang menentukan nasib manusia. Juga Allah pencipta alam
semesta ini adalah Allah yang penuh kasih, 2 Petrus 3:9. Didalam Allah tidak
ada bentuk fatalisme.
b. ‘Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’; menihilkan paham evolusi.
Paham evolusi ini menyakini bahwa
terjadinya mahluk hidup itu merupakan suatu kebetulan dalam alam semesta,
sehingga tercipta satu sel hidup. Sel hidup tersebut kemudian berevolusi pada
tingkat yang lebih tinggi. Muncullah species-species mahluk hidup. Species
akhirnya adalah manusia.
Dengan adanya Kejadian 1:1 ini,
paham evolusi itu dinihilkan. Allahlah yang menciptakan mahluk hidup itu.
Mahluk hidup ciptaan itu adalah mahluk hidup yang sempurna menurut speciesnya
masing-masing.
c. ‘Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’; menihilkan pantheisme.
Pantheisme ini mengidentikkan Allah
dengan alam. Sedangkan Kejadian 1:1 menegaskan bahwa alam ini adalah ciptaan
Allah. Jadi alam ini bukanlah Allah.
d. ‘Pada mulanya Allah menciptakan
langit dan bumi’; menihilkan materialisme.
Kejadian 1:1 ini hanya dapat
diterima dengan iman, bukan ratio. Mengapa? Karena ratio manusia itu amat
terbatas, sesuai dengan keterbatasan substansi manusia itu sendiri. Catatan:
Deisme nanti akan disangkal Alkitab dalam Kejadian pasal 2.
2.7. Kesimpulan.
Awal pernyataan Allah tentang
diriNya sendiri dalam Kejadian 1:1 ini sungguh-sungguh merupakan dasar utama
pengenalan akan Allah yang benar itu. Beberapa kesimpulan penting dari Kejadian
1:1 ini, antara lain:
a. Allah memperkenalkan diriNya
secara bertahap dan progresif kepada manusia.
b. Allah itu maha kuasa. Kemaha-kuasaan itu nyata dengan tegas ketika Ia mencipta. Allah dengan kemaha-kuasaanNya itu adalah Sang Pencipta, Khalik.
c. Kata ‘Allah’ itu sendiri tak dapat menampung keseluruhan idea dari kata ELOHIM di dalamnya.
d. Allah itu unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya.
e. Allah itu sudah ada sebelum ada waktu.
f. Allah itu berdaulat penuh. Di dalam Allah-lah segala takdir itu berawal. Tetapi kedaulatanNya itu tidaklah menyuburkan fatalisme, sebab sifat-sifat utama lainnya dari Allah masih belum dibicarakan dan Kejadian 1:1 itu barulah awal perkenalan.
g. Allahnya Alkitab itu sungguh-sungguh menihilkan segala macam isme filosofis manusia yang mencoba menentangNya.
h. Allahnya Alkitab itu hanya dapat dipahami lewat iman.
b. Allah itu maha kuasa. Kemaha-kuasaan itu nyata dengan tegas ketika Ia mencipta. Allah dengan kemaha-kuasaanNya itu adalah Sang Pencipta, Khalik.
c. Kata ‘Allah’ itu sendiri tak dapat menampung keseluruhan idea dari kata ELOHIM di dalamnya.
d. Allah itu unik – tidak ada duanya – tidak ada persamaannya.
e. Allah itu sudah ada sebelum ada waktu.
f. Allah itu berdaulat penuh. Di dalam Allah-lah segala takdir itu berawal. Tetapi kedaulatanNya itu tidaklah menyuburkan fatalisme, sebab sifat-sifat utama lainnya dari Allah masih belum dibicarakan dan Kejadian 1:1 itu barulah awal perkenalan.
g. Allahnya Alkitab itu sungguh-sungguh menihilkan segala macam isme filosofis manusia yang mencoba menentangNya.
h. Allahnya Alkitab itu hanya dapat dipahami lewat iman.
3. Hakekat
Allah – Ada.
Keberadaan atau eksistensi Allah
sudah dibicarakan, bahkan Allah sendiri sudah mulai menyatakan diriNya kepada
manusia. Kini muncul pernyataan, bagaimanakah sebenarnya sifat hakekat atau
substansi Allah itu? Kalau eksistensinya saja sudah merupakan suatu pergumulan
iman dan butuh penegasan Allah sendiri, apalagi manusia akan membicarakan
hakekat atau substansiNya. Untuk memahaminya, maka Allah sendirilah yang mempersiapkan
segala sesuatu dan memberi informasi yang cukup bagi manusia untuk mengenal
siapa ia sebenarnya.
3.1. Allah menciptakan langit dan
bumi dan segala isinya, Kejadian 1:1-2:3.
Sangat jelas bahwa dengan kedaulatan
dan kemaha-kuasaan-Nya, Allah menciptakan langit dan bumi. Dari ayat-ayat ini
jelas bahwa dalam kisah pertama penciptaan itu hanyalah ‘kata atau nama Allah’
yang disebut-sebut sebagai pencipta. Bahkan tiga puluh lima kali kata ELOHIM
itu disebut-sebut dalam ayat-ayat ini.
3.2. Allah mulai memperkenalkan
‘pribadiNya kepada manusia, Kejadian 2:4.
Ayat ini membuka sebuah tahap baru
untuk mengenal Allah lebih baik lagi. Ternyata ayat ini mengungkapkan bahwa
yang menciptakan langit dan bumi itu adalah TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM
(berkembang dari istilah ALLAH – ELOHIM, Kejadian 1:1-2:3, menjadi istilah
TUHAN ALLAH – YEHOVA ELOHIM).
Penjelasan awal dari perkembangan
istilah dalam ayat ini yakni: Didalam sifat kedaulatan dan kemaha-kuasaanNya
itu, Allah mulai memperkenalkan pribadiNya, yakni TUHAN – YEHOVA. Tahap baru
memperkenalkan diriNya itu adalah untuk memulai memperkenalkan ‘pribadi’Nya
kepada manusia.
3.3 Pribadi Allah dalam hubungannya
dengan manusia, dikenal dengan nama: TUHAN, Kejadian 2:4-3:24.
Karena manusia ‘mahkota ciptaan’ Nya
sendiri, maka Allah memperkenalkan pribadiNya. Jadi pribadi Allah itu
diperkenalkan dalam hubungan Allah yang khusus dengan manusia. Keberadaan –
eksistensi Allah dapat dikenal secara umum lewat wahyu umum, tetapi pribadi
Allah hanya dapat dikenal khusus dalam hubunganNya dengan manusia, lewat wahyu
khusus. Dalam pribadi Allah itulah manusia dapat memahami hakekat atau
substansiNya.
Perkenalan pribadiNya kepada manusia
juga secara bertahap. Eksposisi Kejadian 2:4-3:24 menggambarkannya:
Kejadian 2:4; Allah mulai memperkenalkan
bahwa dibalik kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya, ternyata ada pribadi Illahi
yang namaNya: TUHAN. Terdapat kesan bahwa istilah Allah itu menunjuk pada
lembaga Illahi. Sedangkan istilah TUHAN itu menunjuk pada nama pribadi. Jadi
istilah gabungan TUHAN ALLAH itu menunjuk pada ‘lembaga Illahi yang
berpribadi’.
Kejadian 2:4-7; Walaupun ada kesan
bahwa cerita penciptaan dalam pasal satu diulangi lagi disini, tetapi jelas
bahwa fokusnya hanya kepada manusia itu sendiri. Kalau penciptaan manusia dalam
pasal satu itu bersifat umum dalam suatu kerangka universal, dalam pasal dua
ini dijelaskan secara khusus hubungan istimewa manusia itu dengan TUHAN Allah.
Hubungan istimewa itu adalah ‘neshamah – nafas hidup – roh manusia’, Kejadian
2:7, yang sebenarnya berasal dari TUHAN Allah. Sebelum manusia diciptakan,
TUHAN Allah mempersiapkan suatu kehidupan alamiah bagi manusia.
Kejadian 2:8-9; TUHAN Allah
mempersiapkan dan menempatkan manusia pada tempat khusus – Eden – supaya
manusia dapat hidup dengan baik.
Kejadian 2:10-14; TUHAN Allah memberi segala faslitas kepada manusia.
Kejadian 1:15-17; TUHAN Allah memberi tugas dan hukum kepada manusia.
Kejadian 2:18; TUHAN Allah merencanakan secara istimewa teman hidup bagi manusia.
Kejadian 2:19-20; TUHAN Allah mendidik manusia memahami arti kehidupan dan menjadi dewasa.
Kejadian 2:21-22; TUHAN Allah mewujudkan rencana istimewaNya itu bagi manusia, yakni menciptakan isteri baginya.
Kejadian 2:23-25; Manusia memahaminya dan hidup menurut rencana istimewa TUHAN Allah itu.
Kejadian 3:1-24; TUHAN Allah menyiapkan rencana keselamatan bagi manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Kejadian 2:10-14; TUHAN Allah memberi segala faslitas kepada manusia.
Kejadian 1:15-17; TUHAN Allah memberi tugas dan hukum kepada manusia.
Kejadian 2:18; TUHAN Allah merencanakan secara istimewa teman hidup bagi manusia.
Kejadian 2:19-20; TUHAN Allah mendidik manusia memahami arti kehidupan dan menjadi dewasa.
Kejadian 2:21-22; TUHAN Allah mewujudkan rencana istimewaNya itu bagi manusia, yakni menciptakan isteri baginya.
Kejadian 2:23-25; Manusia memahaminya dan hidup menurut rencana istimewa TUHAN Allah itu.
Kejadian 3:1-24; TUHAN Allah menyiapkan rencana keselamatan bagi manusia yang jatuh ke dalam dosa.
Catatan: Ternyata ayat-ayat ini
menihilkan keyakinan ‘Deisme’ itu. Allah tidak sekedar mencipta lalu
meninggalkan ciptaanNya itu untuk berproses sendiri. Allah hadir dan aktif
berperan dalam alam ciptaanNya; lebih khusus lagi, dalam menyelamatkan umat
manusia. Jadi, dengan pengungkapan pribadi Allah melalui pernyataan Nama ‘TUHAN
Allah’. Deisme itu dinihilkan.
Jadi jelas sekali bahwa dalam
hubungannya yang khusus dengan manusia, Allah memperkenalkan pribadiNya dengan
sebutan atau nama: TUHAN – YEHOVAH. Hal ini lebih terbuka lagi setelah
mempelajari seluruh kitab Perjanjian Lama itu. Istilah Allah – ELOHIM hanya
disebut 3.000-an kali, sedangkan istilah TUHAN – YEHOVAH disebut 6.823 kali
dalam Kitab Perjanjian Lama itu. PribadiNyalah yang dikedepankan, bukan
lembaga.
3.4 Hakekat TUHAN Allah itu, ‘ADA’
yang kekal, Keluaran 3:14-15.
Ketika Allah menyuruh Musa pergi ke
Mesir untuk melepaskan orang Israel dari cengkeraman kekuasaan Firaun, Musa
menanyakan nama pribadi Allah yang menyuruhNya, Keluaran 3:13. Pertanyaan itu
penting, sebab allah-allah Mesir, dari yang rendah sampai yang tertinggi,
mempunyai nama. Allah menjelaskan kepada Musa bahwa namaNya dalam bahasa Ibrani
ditulis: EHEYEH ASHER EHEYEH, yang dipendekkan menjadi EHEYEH. Dalam bahasa
Inggris diterjemahkan dengan I AM THAT (WHO OR WHAT) I AM, dipendekkan menjadi
I AM. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan AKU ADA YANG AKU ADA, dipendekkan
menjadi AKU ADA. Dari sinilah kata Ibrani YAHWEH atau YEHOVAH itu berakar.
Kata-kata ini berarti: Aku adalah
Dia yang Ada dengan sendirinya; Dia yang kekal; Dia yang senantiasa ada dan
senantiasa akan ada. Kata-kata yang dipendekkan menjadi AKU ADA itu berarti:
Dia yang senantiasa ada dan hidup. Nama ini sama artinya dengan ‘YEHOVAH Yang
Kekal’.
3.5 Dibandingkan dengan ‘ada’nya
umat manusia, Yesaya 40:6-8.
Dibandingkan dengan ‘ada’nya Allah,
maka eksistensi manusia hanya diumpamakan seperti rumput. Dengan kata lain,
TUHAN Yang Kekal itu tidak dapat dibandingkan dengan eksistensi umat manusia
yang fana itu.
3.6 Dibandingkan dengan ‘ada’nya
alam semesta.
Eksistensi alam semestapun tidak
sebanding dengan ‘ada’nya TUHAN Allah . Alkitab memberi kesaksian, bahwa:
Kejadian 1:1; TUHAN Allah yang menciptakan langit dan bumi (universe – alam
semesta) ini.
2 Petrus 3:7; TUHAN Allah yang
memelihara langit dan bumi ini. Matius 24:35; 2 Petrus 3:10-13; TUHAN Allah
akan membinasakan langit dan bumi ini; dan kemudian menciptakan langit dan bumi
baru. Dengan kata lain, eksistensi alam semesta ini tidak kekal seperti
‘ada’nya TUHAN Allah.
3.7 Kesimpulan.
Sebenarnya, berbicara tentang
hakekat adalah berbicara tentang isi filsafat, yakni bidang metafisika. Tetapi
hakekat Allah itu tidak dapat dipahami oleh kemampuan manusia menganalisa
sekedar informasi wahyu umum untuk mencari epistemologinya. Pengetahuan tentang
Allah yang menjadi ukuran kebenaran hanyalah didapat dari informasi wahyu
khusus itu. Sekali lagi, bukan oleh kesanggupan manusia menganalisa wahyu umum.
Sehigga nampak jelas bahwa hakekat Allah itu tidak dapat dipahami secara
filosofis melalui metafisikanya. Hanya Alkitablah yang memberi informasi
tentang hakekat Allah itu.
‘Pengkotbah’, orang berhikmat yang
mencari hakekat kehidupan, menulis: “Apa yang ada, itu jauh dan dalam, sangat
dalam, siapa yang dapat menemukannya?”, Pengkotbah 7:24. Kata ‘ada’ disini
menunjuk pada akar kata yang sama dengan ‘ada’ dalam Keluaran 3:14.
Jadi, menurut Alkitab, hakekat TUHAN
Allah adalah ‘ADA’. Sifat ‘ADA’nya TUHAN Allah itu jauh berada diluar jangkauan
analisa filosofis manusia, yakni:
a. ADA – yang essensial, hakiki,
substansi.
b. ADA – karena diri-Nya sendiri, bukan diadakan, self existent, Wahyu 16:5.
c. ADA – penyebab segala yang ada – cause prima, Roma 11:36.
d. ADA – Maha Ada, melebihi konsep manusia tentang ruang, Mazmur 139:5-12.
e. ADA – tidak terbatas, tidak berubah, kekal, Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6; 2 Timotius 2:13.
f. ADA – melampaui konsep waktu akibat dosa, Keluaran 3:14; Ibrani 13:8; Wahyu 1:17; kekal.
g. ADA – kehidupan kekal; sumber kehidupan, Kisah Para Rasul 17:25, 28; Ayub 34:14-15.
h. ADA – suatu pribadi; Maha Pribadi.
b. ADA – karena diri-Nya sendiri, bukan diadakan, self existent, Wahyu 16:5.
c. ADA – penyebab segala yang ada – cause prima, Roma 11:36.
d. ADA – Maha Ada, melebihi konsep manusia tentang ruang, Mazmur 139:5-12.
e. ADA – tidak terbatas, tidak berubah, kekal, Yakobus 1:17; Maleakhi 3:6; 2 Timotius 2:13.
f. ADA – melampaui konsep waktu akibat dosa, Keluaran 3:14; Ibrani 13:8; Wahyu 1:17; kekal.
g. ADA – kehidupan kekal; sumber kehidupan, Kisah Para Rasul 17:25, 28; Ayub 34:14-15.
h. ADA – suatu pribadi; Maha Pribadi.
i. ADA – creatio ex nihilo; sifat
penciptaan Allah, Kejadian pasal satu – mencipta dari yang tidak ada menjadi
ada. Pandangan filosofi manusia adalah ex nihilo fit – dari ketiadaan, tidak
ada sesuatu yang jadi – from nothing, nothing comes. Tetapi mustahil bagi
manusia, bagi Allah tidak mustahil. Dari hakekatNya sendiri, Allah mencipta
sesuatu dari yang nihil menjadi ada! Kejadian pasal satu.
BAB III:
PRIBADI ALLAH
Allah yang berpribadi merupakan
pernyataan agung Ilahi, sehingga manusia tidak hanya mengenal Allah dalam
bentuk kelembagaan yang biasanya kaku, tetapi mengenalNya secara pribadi.
Sebenarnya istilah ‘pribadi’ atau ‘oknum’ atau ‘person’ mengandung arti keadaan
orang-perorangan yang dapat dilihat dari seluruh sifat yang merupakan watak
orang tersebut. Dengan istilah ‘pribadi’ ini, kita dapat mengenal seseorang
lebih baik dan lebih dalam lagi. Jadi, Allah sebagai pribadi adalah Allah yang
menyatakan diriNya dalam seluruh sifatNya, sehingga manusia mengenal siapa Dia.
1. Lembaga
ke-Allahan dan Pribadi Allah.
Istilah ‘Allah’ adalah istilah umum
diseluruh dunia, walaupun dalam bentuk kata yang berbeda: EL (Ibrani); THEOS (Grika);
DEUS (Latin); GOD (Inggris); ALLAH; DEWA; (di Minahasa dikenal dengan istilah
‘OPO’), dan lain-lain. Istilah Allah sebenarnya menunjuk pada suatu pengertian
tentang ‘lembaga’, yang mempunyai otoritas mutlak atas seluruh alam semesta,
dan kepadanya manusia menyembah. Bila dalam agama-agama polytheisme, lembaga
ke-Allahan itu memiliki begitu banyak allah. Allah-allah ini masing-masing
dengan sifat dan perannya sendiri-sendiri. Ada allah yang khusus mengurus
kematian – dewa maut. Ada allah yang khusus mengurus hujan – dewa hujan, dan
sederetan tugas serta sifat ataupun peran. Tetapi Allah-nya Alkitab adalah
suatu pribadi (Maha Pribadi) Yang Esa. Maha Pribadi itu memiliki seluruh sifat
Ilahi yang ada. Jadi dalam lembaga ke-Allahan itu berdiam pribadi Yang Esa
dengan seluruh sifat Ilahi.
Lembaga manusia dapat terpisah dari
pribadi manusia itu pada saat ia mati. Tetapi lembaga ke-Allahan menurut
Alkitab itu tidak dapat dipisahkan dari Pribadi Allah, karena Allah itu hidup,
dalam arti hidup kekal.
2. Allah itu
berpribadi.
Menarik sekaligus rumit, bila kita
menyimak berbagai pandangan yang berkembang sejak Gereja mula-mula tentang
pribadi Allah. Pribadi atau oknum atau Hypotasis (Grika) atau Persona (Latin).
Bagaimana bentuknya berbagai nuansa pandangan mereka itu tidak akan dibicarakan
dalam bagian ini. Tetapi yang terutama dibuktikan dulu dari Alkitab yakni bahwa
Allah itu berpribadi. Bukti-bukti Allah berpribadi yakni antara lain:
2.1 Sebagai Pribadi; Allah
memperkenalkan NamaNya.
Ada bagian tersendiri membicarakan
Nama Allah secara luas dan mendalam. Allah Alkitab memperkenalkan NamaNya,
Keluaran 3:14; 6:1-2. Nama itu jelas menunjuk pada pribadi.
2.2 Sebagai Pribadi; Allah dikenal
dengan pikiranNya, Mazmur 139:17; Yesaya 40:13; 50:9; Zakharia 1:6; 8:14-15; Kisah
Para Rasul 15:18; 1 Korintus 2:11, 16.
Hasil berpikir adalah maksud, niat
atau rencana. Jelas, Alkitab berisi pikiran dalam bentuk rencana agung Allah
untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia. Hanya orang-orang rohanilah yang
memahami rencana Allah itu.
2.3 Sebagai Pribadi; Allah dikenal
dengan emosi atau perasaanNya.
Bentuk-bentuk perasaan itu amat,
seperti: Kejadian 6:6, menyesal; Keluaran 20:5; Ulangan 6:15, cemburu; Ulangan
1:37; 4:21; 9:8; 2 Raja-raja 17:18, murka; Mazmur 45:8; Ibrani 1:9, mencintai
atau membenci, dan lain-lain.
2.4 Sebagai Pribadi; Allah dikenal
dengan kehendak atau keinginanNya.
Kehendak atau keinginan Allah itu
begitu jelas dalam Alkitab Yosua 3:10, Allah sungguh-sungguh menepati
janji-Nya. Mazmur 115:3, Allah melakukan apa kehendakNya. 2 Petrus 3:9, Allah
tidak suka seorangpun binasa.
3. Keadaan
dasar (nature) pribadi Allah.
Keadaan dasar manusia itu antara
lain: lemah, tidak sempurna dan seterusnya. Alkitab menyimpulkan bahwa keadaan
dasar manusia adalah ‘daging’. Dengan demikian kita mengenal siapa manusia itu.
Demikian juga dengan Allah jelas dari uraian diatas bahwa Allah itu berpribadi,
tetapi pribadi itu amat luar biasa bila keadaan dasar (nature) dan sifat-sifat
(attributes)Nya dapat dipelajari. Tidak ada kata yang tepat untuk mengungkapkan
keadaan pribadi itu selain menegaskan bahwa pribadi itu sungguh-sungguh
melampaui kesanggupan daya analisa manusia, sehingga hanya cocok disebut dengan
‘Maha Pribadi’. Dengan tepat Paulus mulai memberi gambaran kepada orang-orang kafir,
bahwa: “. . . kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan Ilahi sama seperti emas
atau perak atau batu ciptaan kesenian dan keahlian manusia”, Kisah Para Rasul
17:29.
Alkitab menggambarkan keadaan dasar
Allah sebagai berikut :
3.1 Allah itu adalah Roh adanya,
Yohanes 4:19-24.
Alkitab mengajarkan bahwa substansi
manusia adalah rohnya, yakni ‘nafas hidup – neshamah’ yang datang dari Allah,
Kejadian 2:7; Yohanes 6:63; Yakobus 2:26. Alkitab juga mengajarkan bahwa ada
mahluk-mahluk roh yang diciptakan surga dan dunia roh, Kolose 1:16; Ibrani 1:7;
Mazmur 104:4. Tetapi semua itu adalah roh-roh (mahluk roh) ciptaan. Allah
adalah Roh; Ialah ‘ADA’ yang mencipta dari yang tidak ada menjadi ada. Dengan
kata lain, Allah itu adalah Roh yang mencipta segala sesuatu, termasuk roh-roh
ciptaan itu. Tentunya Roh Allah itu berbeda dengan roh-roh ciptaan lainnya.
Itulah sebabnya Westminster
Cathecism mendefinisikan Allah sebagai berikut: “Suatu Roh, tak terbatas,
keadaan yang tak dapat berubah, hikmat, kuasa, kesucian, keadilan, kebaikan dan
kebenaran”.
Perlulah diberi gambaran umum dari
wujud Roh itu. Sehingga dengan menyebut ‘Allah itu Roh adanya’, dapatlah
digambarkan idea rohani tentang Roh itu. Gambaran umum dari ujud Roh itu yakni:
a. Roh itu tidak dapat dilihat
manusia. Roh memang tidak terlihat oleh manusia biasa, tetapi bukan tidak
mungkin terlihat. Malaikat-malaikat dapat sewaktu-waktu terlihat, roh-roh jahat
pun demikian, Wahyu 13:1; 11:1; 17:8. Tetapi Allah yang adalah Roh adanya tidak
dapat dilihat oleh seorang manusiapun, kecuali Yesus Kristus Putra-Nya yang
tunggal itu, Ulangan 4:12; Yohanes 1:18; 6:46.
b. Roh itu tidak kelihatan karena
tidak terhampiri. Roh-roh lain dalam dimensi alam roh itu dapat terlihat.
Tetapi Allah bukan sekedar ‘mahluk’ rohani yang tak terlihat oleh mata jasmani,
Yohanes 3:6-8, melainkan tak terlihat karena tak terhampiri. 1 Timotius 6:16
(lihat penjelasan lebih lanjut dalam: Allah itu Api…).
c. Roh itu ada dimana-mana – Maha
Ada. Melebihi konsep manusia tentang ruang, Kejadian 1:2; Mazmur 139:7cf; Wahyu
1:4.
d. Roh itu tahu segala sesuatu –
Maha Tahu. Karena Ia ADA, maka Ia pasti tahu segala sesuatu, 1 Korintus
2:10-11.
e. Roh itu Maha Benar. Ialah Roh
Kebenaran itu, 1 Yohanes 5:9.
f. Roh itu supra dinamika, Zakaria
4:6; Kisah Para Rasul 1:8; Ayub 42:2.
Selain mencipta, Allah yang Roh adanya menembusi alam rohani dan alam jasmani; mengatur harmoni alam rohani oleh hukum rohani dan harmoni alam jasmani oleh hukum alam; mengatur harmoni antara alam rohani dan alam jasmani.
Selain mencipta, Allah yang Roh adanya menembusi alam rohani dan alam jasmani; mengatur harmoni alam rohani oleh hukum rohani dan harmoni alam jasmani oleh hukum alam; mengatur harmoni antara alam rohani dan alam jasmani.
g. Roh itu sumber kehidupan,
Kejadian 2:7; Ayub 34:14-15; Roma 8:10-11.
3.2 Allah itu sempurna, Ulangan
32:4; 2 Samuel 22:31; Mazmur 18:31; 19:8; Matius 5:48.
Suatu ungkapan prinsipil tentang
pribadi Allah adalah kata ‘sempurna’. Ketika Lucifer diciptakan, dikatakan:
“Gambar dari kesempurnaan engkau, . . .” Yehezkiel 28:12. Bahkan ditambahkan:
“engkau tak bercela ditengah kelakuanmu”, Yehezkiel 28:15. Tetapi kata sempurna
itu menjadi nisbi. Juga oleh nilai yang ada diantara manusia sejak ia
diciptakan, maka kata sempurna itupun menjadi nisbi. Jadi kata ‘sempurna’ yang
dipakai untuk malaikat dan manusia itu menjadi nisbi dan tidak dapat dipakai
untuk memberi gambaran kesempurnaan pribadi Allah itu (simak baik-baik
rangkaian kata dari ayat -ayat referensi diatas tadi).
Hampir tidak ada kata yang cocok
untuk menerangkan keadaan dasar kesempurnaan pribadi Allah itu. Ada satu frasa
yang dapat dipakai, yakni: “Maha sempurna”. Kata ‘Maha sempurna’ itu hanya
dapat digambarkan orang bila ia dapat membuat gambaran dari gabungan
sifat-sifat moral Allah. Kesempurnaan Allah ini sedemikian rupa sehingga tidak
ada kesempatan atau celah bagi seorang theolog untuk mencari alasan bahwa dosa
itu berasal dari Allah.
3.3 Allah itu Api Yang Menghanguskan
– Terang – Tak terhampiri.
Salah satu keadaan dasar pribadi
Allah yakni: ‘Allah itu tak terhampiri’, 1 Tesalonika 6:16. Sebenarnya ‘tak
terhampiri itu’ karena Allah bersemayam dalam terang. Jadi Allah itu adalah
‘terang yang tak terhampiri’. Sedangkan terang itu datang dari sumbernya, yaitu
api. Makin besar api itu, makin tak terhampiri ia, karena sifatnya yang
menghanguskan, Daniel 3:23. ‘Api’ itu menunjuk pada ‘kekudusan’ Allah, karena
kekudusan Allah itu mutlak, maka Ia itu bagaikan ‘api yang menghanguskan’,
Ibrani 12:29; Keluaran 24:17; 33:20cf; Yesaya 10:17. Api itu menghasilkan
terang – Allah itu disebut ‘Bapa segala terang’, Yakobus 1:17. Dimana ada
terang disana tak ada kegelapan dan segala sesuatu menjadi kelihatan. Tetapi
justru sumber terang itulah yang menyilaukan. Sedemikian terangnya atau menyilaukannya
Allah itu sehingga ‘tak kelihatan’ oleh mata manusia.
Kekudusan Allah itu membinasakan
manusia berdosa, Keluaran 3:2-5; 33:20; 1 Samuel 6:19-20; 2 Samuel 6:6-7;
Yesaya 6:3-5. Tepatlah ungkapan itu bahwa Allah itu ‘Api yang menghanguskan,
Terang yang tak terhampiri’
4.
Sifat-sifat (attributes) Allah.
Sifat itu berarti: peri keadaan yang
menurut kodratnya ada pada sesuatu; atau dasar watak; tabiat. Jelas sekali,
sebagai pribadi manusia itu mempunyai sifat-sifat, yakni peri keadaan yang
menurut kodratnya ada pada manusia. Demikian pula Allah. Untuk mengenal pribadi
Allah, perlu bagi orang percaya mengenai sifat-sifat Allah.
Karena banyaknya sifat-sifat Allah, maka sepanjang zaman pergumulan theologia, para theolog pada umumnya membagi sifat-sifat Allah itu dalam dua bagian besar. Tetapi pembagian kedalam dua bagian besar itupun berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing penafsir. Lihat dibawah ini diberi gambaran perbedaan sudut pandang tersebut :
Karena banyaknya sifat-sifat Allah, maka sepanjang zaman pergumulan theologia, para theolog pada umumnya membagi sifat-sifat Allah itu dalam dua bagian besar. Tetapi pembagian kedalam dua bagian besar itupun berbeda-beda menurut sudut pandang masing-masing penafsir. Lihat dibawah ini diberi gambaran perbedaan sudut pandang tersebut :
Atribut natural dan atribut moral.
Atribut natural itu bersifat ada pada diri sendiri (self existence), seperti
ketidak-terbatasan, kesederhanaan, dan seterusnya. Atribut moral itu erat
kaitannya dengan kehendak Allah, seperti kebaikan, belas kasih, keadilan dan
seterusnya.
Atribut absolut dan atribut relatif. Atribut absolut dimiliki oleh esensi ke-Allahan yang mutlak. Sedangkan atribut relatif dimiliki oleh esensi ke-Tuhanan yang dalam hubungannya dengan manusia ciptaanNya.
Atribut absolut dan atribut relatif. Atribut absolut dimiliki oleh esensi ke-Allahan yang mutlak. Sedangkan atribut relatif dimiliki oleh esensi ke-Tuhanan yang dalam hubungannya dengan manusia ciptaanNya.
Atribut yang incommunicable dan
atribut yang communicable. Atribut yang incommunicable adalah atribut yang
tidak ada pada mahluk ciptaan. Sedangkan atribut yang communicable adalah
atribut yang ada pada mahluk ciptaanNya. Masih ada lagi pembagian dalam nuansa
yang berbeda. Tetapi yang tiga tadi sudah cukup memberi gambaran bagaimana usaha
para penafsir Alkitab untuk memahami sifat-sifat Allah.
Dalam theologia sistimatika GPdI
yang asli, yang dikenal dengan istilah ‘Pelajaran Alasan’, sifat-sifat Allah
itu tidak dibagi secara kelompok seperti diatas. Sifat-sifat Allah itu
dideskripsikan satu demi satu secara singkat satu demi satu sesuai pokoknya,
lalu diberi ayat-ayat referensi. Tetapi justru setelah sifat-sifat itu
diuraikan, nampaklah bahwa sifat-sifat Allah itu erat kaitannya dengan
keselamatan manusia. Dari sifat-sifat (atribut) Allah itu, nampaklah rencana,
methode dan maksud dari usaha Allah menyelamatkan manusia. Jadi, penguraian
sifat-sifat Allah itu mengikuti pola yang ada dalam ‘Pelajaran Alasan’
tersebut. Sifat-sifat Allah itu yakni:
4.1 Allah itu kekal.
Pengertian kekal disini erat
kaitannya dengan waktu. Sedangkan pemahaman waktu pada manusia itu ada karena
dosa. Oleh dosalah maka manusia menjadi fana. Oleh dosalah maka manusia
mengenal masa lalu dan masa yang akan datang. Memang sebelum ada dosa di bumi
ini, Alkitab telah memakai istilah-istilah waktu ‘hari pertama’, Kejadian
1:3-5; ‘hari kedua’, Kejadian 1:6-8; dan seterusnya. Tetapi istilah waktu itu
sebenarnya hanya menunjuk pada pentahapan penciptaan Allah. Sebab sebelum
pentahapan penciptaan itu , Kejadian 1:1-2 Allah memang sudah melakukan
penciptaan itu. Itulah kekekalan masa lalu itu (The eternal past).
Allah itu kekal. Allah itu sudah ada sebelum kekekalan masa lalu itu. Allah sudah ada sebelum adanya konsep tentang waktu, Kejadian 1:1; Yohanes 1:1; Mazmur 93:2.
Allah itu kekal. Allah itu sudah ada sebelum kekekalan masa lalu itu. Allah sudah ada sebelum adanya konsep tentang waktu, Kejadian 1:1; Yohanes 1:1; Mazmur 93:2.
Masih ada satu aspek waktu, yakni
masa yang akan datang. Ukuran waktu inipun dilihat dari sudut pandang kefanaan
manusia akibat dosa. Karena manusia tidak dapat mengukur waktu yang akan datang
itu, maka ia disebut ‘kekal’. Jadi waktu kekal yang akan datang itu disebut
‘kekekalan masa yang akan datang’ – ‘eternal future’; atau ‘everlasting’ – tak
berkesudahan.
Allah itu kekal, masa lalu maupun masa yang akan datang, Kejadian 21:33; Ulangan 33:27; Mazmur 9:8; 29:10; 45:7; 90:2; Yesaya 40:8; Yeremia 10:10; Roma 16:26; 1 Timotius 1:7; 6:16; 1 Petrus 5:10; Yesaya 44:6; 48:12; Wahyu 1:17; 10:6; 15:7; 22:13. Kekekalan masa lalu itu milik Allah. Tetapi kekekalan masa yang akan datang, dalam bentuk hidup yang kekal itu diwariskan kepada orang-orang percaya yang takut dan setia kepadaNya, Matius 19:29; Lukas 18:30; Yohanes 3:16. Tetapi orang yang tidak percaya kepadaNya akan dihukum dengan hukuman yang kekal, Daniel 12:2; Matius 18:8; 25:41, 46.
Allah itu kekal, masa lalu maupun masa yang akan datang, Kejadian 21:33; Ulangan 33:27; Mazmur 9:8; 29:10; 45:7; 90:2; Yesaya 40:8; Yeremia 10:10; Roma 16:26; 1 Timotius 1:7; 6:16; 1 Petrus 5:10; Yesaya 44:6; 48:12; Wahyu 1:17; 10:6; 15:7; 22:13. Kekekalan masa lalu itu milik Allah. Tetapi kekekalan masa yang akan datang, dalam bentuk hidup yang kekal itu diwariskan kepada orang-orang percaya yang takut dan setia kepadaNya, Matius 19:29; Lukas 18:30; Yohanes 3:16. Tetapi orang yang tidak percaya kepadaNya akan dihukum dengan hukuman yang kekal, Daniel 12:2; Matius 18:8; 25:41, 46.
4.2 Allah itu tidak berubah.
Selain kekal, Allah itu tidak
berubah. Ada sebuah ungkapan tentang Allah, yakni; Allah itu ‘Gunung Batu’,
Mazmur 18:3; 31:4; 40:3; 42:10; 71:3; 78:16, dengan berbagai tambahan,
misalnya: Tempat Berlindung, Perisai; Tanduk Keselamatan; Kota Bentengku!
Maksudnya, sebagaimana Gunung Batu itu tidak berubah oleh perubahan cuaca dan
pengaruh eksternal lainnya, sehingga dapat diandalkan, analogi berjenjang itu
ditujukan kepada Allah yang tidak dapat diubah oleh apapun juga, Maleakhi 3:6;
Ibrani 13:8; Yakobus 1:17.
Catatan sebagai bahan study Alkitab;
Sebenarnya kata ‘Gunung Batu’ itu ditulis dengan kata ‘sela’ (Ibrani), yang
sama dengan kata ‘petra’ (Grika) – ‘rock’ (Inggris) – batu (dalam arti batu
yang besar sekali). Ada juga kata Grika lainnya yang berarti batu, yakni
‘lithos’, yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan ‘stone’. Kata ‘petra’
itu sendiri berarti batu yang besar sekali, sedangkan ‘lithos’ adalah batu yang
kecil, yang lebih besar dari kerikil.
Karena perbendaharaan kata bahasa
Indonesia yang agak miskin, maka kata ‘sela’ dan ‘petra’ ini diterjemahkan
dengan kata ‘gunung batu’, Mazmur 18:3 atau ‘bukit batu’ Matius 27:60; Markus
15:46. Sayang sekali, terjemahan seperti ini bukanlah terjemahan literal,
melainkan terjemahan yang sudah berisi penafsiran. Hal itu berdampak pada
bagian lain dari terjemahan kata ‘petra’ ini yang diterjemahkan dengan kata
‘batu karang’, Matius 16:18; 1 Korintus 10:4, sehingga nampak sekali
keganjilannya. Kalau dalam kitab Mazmur , Allah digambarkan sebagai ‘Gunung
Batu’, maka dalam 1 Korintus 10:4, Yesus digambarkan sebagai ‘Batu Karang’.
Ternyata bahwa dari keterangan para
ahli bahasa, bahwa penerjemahan kata ‘petra’ menjadi ‘batu karang’ – ‘cliff’
(Inggris), diambil dari latar belakang Yunani sekular yang tidak ada kaitannya
secara langsung dengan Alkitab. Banyak bagian dalam Alkitab yang diterjemahkan
seperti ini, yakni dalam Alkitab terjemahan baru. Akibatnya, sering terjadi
banyak salah penafsiran terhadap Alkitab itu sendiri. Seterusnya, terjadi
banyak kesesatan. Hal ini merupakan peringatan kepada mereka yang ingin belajar
Alkitab !
Pembuktian bahwa Allah itu tidak
berubah, bukanlah pada penampakannya (Theopany). Yesuspun demikian walaupun Ia
disebut tidak berubah, Ibrani 13:8, yang dalam penampakan-penampakanNya
(Khristophani) sering berubah. Ketidak-berubahan Allah itu sangat sulit
dipahami bila membicarakan sifat-sifat Allah yang mutlak itu. Nampaknya untuk
memudahkan pemahaman, maka ketidak-berubahan Allah itu dilihat secara
berjenjang: Ketidak-berubahan hukum Allah, Mazmur 93:5.
Hukum Allah itu tidak berubah. Sebab
bila hukum Allah itu berubah, maka hukum itu tidak dapat menjadi patokan hidup.
Bukti-bukti bahwa hukum Allah itu tidak berubah, yakni: dalam pertobatan orang
Niniwe (kitab Yunus). Walaupun Allah sudah menentukan pembinasaan terhadap kota
itu, tetapi ketika raja dan penduduknya bertobat, Allahpun mengampuni mereka,
Yunus 3:10; 4:2. Hukum keselamatan itu tidak berubah: ‘Pendosa yang menjadi
percaya dan bertobat itu diampuni’, Yehezkiel 18:3; 21-23; Markus 16:16; Kisah
2:37-38. Isteri Lot yang menjadi tiang garam, Kejadian 19:26; Lukas 17:32.
Inipun merupakan bukti ketidak berubahan hukum keselamatan Allah, yakni ‘Orang
benar yang berpaling dari Allah, kehilangan keselamatannya’, Yehezkiel 18:24,
26; Ibrani 6:3-6; 10:26-31. Hukum keselamatan Allah itu tidak berubah dan
berpusat kepada Kristus, Ibrani 9:22; Yohanes 14:6; Matius 26:27-28.
Ketidak berubahan Firman Allah,
Yesaya 40:6-8; Matius 5:18; 24:35; Lukas 21:33; 1 Petrus 1:24-25. Firman Allah
itu dikatakan sebagai ‘kebenaran’ – aletheia (Grika), Yohanes 17:17. Artinya
bahwa Firman Alah itu tidak berubah, permanen, tetap, kekal, sehingga dapat
dijadikan ukuran. Itulah sebabnya ada hukuman bagi mereka yang menambah-kurang
Firman Allah, Ulangan 4:2; 12:32; Amsal 30:6; Matius 5:19; Wahyu 22:18-19.
Ketidak-berubahan Yesus Kristus,
Ibrani 13:8. Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, Yohanes 1:1, 14.
Yesus Kristus yang dimaksud ini adalah Ia yang dalam lembaga ke-Allahan. Ia
yang memang tidak berubah, Ialah ADA kekal yang tidak berubah itu. FirmanNya menyaksikan
hal itu.
Makna utama ketidak-berubahan Allah itu, yakni: kepada manusia diberi suatu jaminan, bahwa Allah itu dapat dipercaya, menjadi sumber pengharapan, Mazmur 102:26-29.
Makna utama ketidak-berubahan Allah itu, yakni: kepada manusia diberi suatu jaminan, bahwa Allah itu dapat dipercaya, menjadi sumber pengharapan, Mazmur 102:26-29.
4.3 Allah itu Maha Kuasa –
Omnipotent.
Pemahaman ke-Maha Kuasaan Allah itu
datang dari kata ELOHIM – Allah itu sendiri. Di dalam ke-Maha Kuasaan itu
terkandung ‘kedaulatan mutlak’. Tidak ada yang lebih berkuasa lagi selain Dia.
Alkitab memberi kesaksian penting tentang hal ini: Kejadian 1:1; 14:19;
Keluaran 18:11; Ulangan 10:14, 17; 1 Tawarikh 29:11-12; 2 Tawarikh 20:6;
Nehemiah 9:6; Ayub 38; 42:2; Mazmur 22:28; 47:2-3,7-8; 50:10-12; 95:3-5; 115:3;
135:5-6; 145:11-13; Yeremia 27:5; 32:17; Matius 28:18; Lukas 1:53; Kisah
17:24-26; Kolose 1 :16-17; Wahyu 1:8; 4:8; 11:17; 19:6; 21:22.
Didalam melaksanakan ke-Maha
KuasaanNya, terkandung pikiran, perasaan dan keinginan pribadi Allah yang
mutlak. Tetapi ke-Maha Kuasaan Allah itu tidaklah bersifat sewenang-wenang atau
diktator. Hal itu terjadi karena sifat ke-Maha Kuasaan Allah itu tidak
bertentangan dengan sifat-sifat Allah yang lain, 2 Timotius 2:13. Sifat-sifat
Allah itu sinkron satu dengan yang lain, seperti: kasih, kekudusan, kebenaran,
keadilan, kesetiaan Allah itu sendiri.
Ada tiga bagian besar yang diperbuat
Allah dalam ke-Maha KuasaanNya (lihat bab V), yakni: Allah mencipta segala
sesuatu; Allah memberi hukum; Allah menentukan dan mengatur takdir manusia.
Dalam mencipta segala sesuatu, nampak jelas ke-Maha KuasaanNya, sehingga Ia disebut ‘Khalik’. Allah mencipta dunia rohani, sekaligus dengan mahluk-mahluk roh. Allah juga mencipta dunia jasmani (universe) dan mahluk-mahluk jasmani. Ada tumbuh-tumbuhan, ada binatang atau hewan, ada manusia. Ternyata dosa itu bukan ciptaan Allah. Dosa adalah suatu kondisi yang merupakan akibat perbuatan malaikat dan manusia melawan hukum Allah.
Dalam mencipta segala sesuatu, nampak jelas ke-Maha KuasaanNya, sehingga Ia disebut ‘Khalik’. Allah mencipta dunia rohani, sekaligus dengan mahluk-mahluk roh. Allah juga mencipta dunia jasmani (universe) dan mahluk-mahluk jasmani. Ada tumbuh-tumbuhan, ada binatang atau hewan, ada manusia. Ternyata dosa itu bukan ciptaan Allah. Dosa adalah suatu kondisi yang merupakan akibat perbuatan malaikat dan manusia melawan hukum Allah.
Selain mencipta segala sesuatu,
dalam ke-Maha KuasaanNya itu, Allah memberikan hukum-hukumNya. Maksud pemberian
hukum itu ialah supaya keserba-aneka-ciptaan itu tidak menjadi kacau balau.
Allah memberikan hukum rohani dan mahluk-mahluk rohani. Allah juga memberi
hukum alam untuk dunia dan mahluk-mahluk alami. Seringkali untuk membuktikan
adanya Allah Yang Maha Kuasa, Allah mengizinkan terjadi mujizat. Mujizat
artinya perbuatan atau kejadian yang melangkahi hukum alam. Sedangkan khusus
bagi manusia, Allah dalam ke-Maha KuasaanNya memberi hukum untuk manusia,
supaya ada pertangung-jawaban dari manusia (human responsibility) itu.
Bagi manusia, Allah memberi beberapa
hukum, yakni:
Pertama, hukum untuk Adam di Taman Eden.
Maksudnya, supaya manusia menghargai Allah dalam keterbatasannya dan tidak
berbuat dosa, karena adanya kehendak bebas (free will). Kedua, hukum suara hati
– conscience law. Dengan suara hati, manusia memahami ukuran baik buruk atau
etika. Maksudnya, supaya manusia bersikap baik, adil dan tidak sewenang-wenang.
Ketiga, hukum keselamatan. Hukum ini tidak dilaksanakan Allah secara langsung,
melainkan secara tidak langsung yakni dengan perantara (korban darah) yang
menunjuk kepada Yesus Kristus.
Bagian ke-Maha Kuasaan Allah yang
lain adalah Allah menentukan dan mengatur takdir manusia. Manusia memang hidup
dalam takdirnya dan takdir manusia itu ditentukan oleh ke-Maha Kuasaan Allah
yang berdaulat penuh. Beberapa hal yang menjadi takdir manusia, yakni: takdir
menjadi pria atau wanita; takdir menjadi anggota keluarga dari ayah dan ibu;
takdir menjadi anggota suku atau bangsa (ras); takdir lahir di suatu tempat.
Takdir-takdir ini adalah ketentuan Allah secara langsung bagi umat manusia,
dalam hal ini manusia tidak dapat memilih. Manusia harus menerima apa adanya.
Manusia tidak berdosa karena menjadi laki-laki atau perempuan, tidak berdosa
karena menjadi bangsa A atau B, tidak berdosa karena berkulit hitam atau putih
dan seterusnya. Dihadapan Allah, semua manusia itu sama.
Ada satu takdir yang tidak
dikerjakan secara langsung oleh Allah, yakni takdir keselamatan manusia. Takdir
keselamatan menjadi satu dengan hukum keselamatan; takdir keselamatan diatur
dalam hukum keselamatan, kedua hal itu hanya lewat Yesus Kristus sebagai
Juruselamat manusia. Takdir dan hukum keselamatan itu menihilkan fatalisme
(fatum=nasib – Latin). Bila hukum dan takdir keselamatan bagi manusia
dikerjakan oleh ke-maha kuasaan ditambah ke-maha tahuan Allah secara langsung
kepada manusia, maka itulah fatalisme, Calvinisme itu fatalisme. Bila
keselamatan kekal atau kebinasaan kekal manusia ditentukan oleh ke-maha kuasaan
dan ke-maha tahuan Allah, maka sifat Allah yang satu ini berubah menjadi
‘ke-maha sewenang-wenangan’, karena tidak dilatar belakangi oleh sifat-sifat
moral Allah yang lain.
4.4 Allah itu Maha Ada –
Omnipresent.
Pemahaman ini menunjuk kepada Allah
yang hadir di semua tempat pada waktu atau saat yang bersamaan – maha hadir.
Setan itu tidak maha hadir, tidak maha kuasa, tidak maha tahu. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa Allah itu omnipresent tetapi tidak omnibody, artinya
yakni Allah hanya hadir di satu tempat, tetapi hadiratNya secara rohani ada dan
dapat terasa dimana-mana. Tetapi nampaknya pandangan itu kurang tepat, sebab
pemahaman omnipresent itu sebenarnya menunjuk pada kehadiranNya secara pribadi
dimanapun dalam waktu yang sama. KehadiranNya secara pribadi itu disebabkan
karena : Allah itu Roh adanya; Ia tak terbatas; Ia adalah ADA yang Ilahi itu;
Ia Maha Besar. Beberapa ayat penting tentang ke-maha hadiran Allah itu ialah:
Ulangan 4:39; 1 Raja-raja 8:27; Mazmur 139:7-10; Amsal 15:3; Yesaya 66:1;
Yeremia 23:23-24; Matius 18:20; Matius 28:20; Kisah Para Rasul 17:24-28.
Dalam pergumulan theologis dari abad
ke abad dipertanyakan, apakah Allah juga ada di neraka? Sebelum menjawab
pertanyaan itu, perlu diingat bahwa Allah itu Immanuel yang selalu bersama-sama
orang yang takut kepadaNya. Tetapi Roh Allah akan meninggalkan orang yang
sengaja melawan Firman Allah dan hidup dalam dosa. Hakim-hakim 16:20; 1 Samuel
16:14; Mazmur 51:13. Walaupun demikian, Yesus pernah turun ke Hades – alam
maut, tempat penampungan jiwa-jiwa orang yang mati di luar Tuhan. Turunnya
Yesus ke Hades itu adalah untuk mengalahkan maut dan alam maut dan Yesus Kristus
menjadi sulung kebangkitan itu.
Sedangkan neraka – gehenna, adalah
tempat penghukuman kekal bagi orang-orang yang tidak percaya dan
malaikat-malaikat yang berdosa. Mereka mengalami kematian kekal – eternal
death, yakni terpisahnya roh manusia dari Roh Allah selama-lamanya. Karena
neraka adalah tempat penghukuman dengan pemisahan hadirat Allah selama-lamanya,
maka memang Allah tidak menghadirkan pribadiNya di tempat itu. Itulah
penghukuman bagi semua mahluk, baik malaikat maupun manusia, yang berdosa melawan
Allah. Ingat, Allah itu sumber kehidupan; jadi jelas bahwa neraka adalah tempat
penghukuman bagi mahluk yang mati kekal.
4.5 Allah itu Maha Tahu –
Omniscient.
Pokok ini adalah salah satu bagian
yang paling menarik untuk dipelajari, sebab amat erat kaitannya dengan
kehidupan manusia. Manusia adalah mahluk ciptaan Allah yang termulia di bumi.
Manusia memiliki akal budi yang dengannya ia mengetahui sesuatu. Manusia
menjadi tahu karena pengamatan, pengalaman dan informasi dari pihak lain,
Matius 13:11; Markus 13:28-29; Yohanes 7:26; 10:38; 13:12; 2 Korintus 8:9;
Ibrani 10:34; 1 Yohanes 2:5; 4:2. Tetapi pengetahuan manusia itu makin
bertambah, Daniel 12:4, sehingga manusia sering tergoda untuk ingin menembus
keterbatasan pengetahuannya itu ke ‘alam maha tahu’.
Sebenarnya manusia itu tidak tahu
persis apa yang bakal terjadi, Matius 24:36cf; Yohanes 13:9-12; 1 Korintus
13:9, 12; 1 Yohanes 3:2, sebab pengetahuan manusia itu terbatas. Manusia hanya
mampu menilai zaman atau dengan kata lain memprediksi atau memperkirakan, Lukas
12:54-56. Tetapi justru pengetahuan tentang masa depan itu merupakan satu
bagian dari ke-maha tahuan Allah yang sangat ingin dipahami oleh manusia.
Banyak sekali manusia yang akhirnya tergoda mencari tahu nasib masa depan
mereka kepada roh-roh peramal, Imamat 19:31; Ulangan 18:11-12, 14, 20; 1 Samuel
28; Kisah 16:16.
Ke-maha tahuan (omniscience) nya
Allah itu didasarkan pada pengetahuan Allah yang mutlak, pengetahuan Ilahi,
Matius 6:8, 32; Yohanes 6:6, 64; 8:14; 11:42; 13:11; 18:4; 2 Korintus 11:31; 2
Petrus 2:9. Ia Maha Tahu karena Ia Maha Ada. Alkitab mencatat bahwa Ia Maha
Tahu, Ayub 37:16; Mazmur 139:17-18; Roma 11:33-35; Ibrani 4:13; 1 Yohanes 3:20.
Pengetahuan Allah yang sempurna itu terdiri dari beberapa aspek :
Allah mengetahui segala sesuatu di masa lalu.
Allah mengetahui segala sesuatu di masa lalu.
Allah mengetahui hal-hal yang
tersembunyi, Mazmur 139:1-5, 16. Allah mengetahui rahasia-rahasia alam, Ayub
38-39. Allah mengetahui pikiran dan isi hati manusia, 1 Samuel 16:7; 1 Tawarikh
28:9; Mazmur 7:10; 17:3; 44:22; 94:11; 139:23; Amsal 17:3; Yeremia 11:20;
17:9-10; Lukas 16:15; Yohanes 2:25; Roma 8:27; Wahyu 2:23. Allah mengetahui
masa depan. Dalam bagian ini adalah dua hal penting, yakni : ‘Mengetahui lebih
dahulu’, Kisah 2:23; 15:18; Roma 8:29; Efesus 2:7; 3:10-11; 1 Petrus 1:2, 20;
dan ‘menetapkan lebih dahulu – predestinasi’, Kisah 4:28; Roma 8:29-30, 1
Korintus 2:7; Efesus 1:5, 11.
Bagian yang paling terakhir ini,
atau bagian dimana Allah mampu mengetahui dan menetapkan sesuatu pada masa yang
akan datang, merupakan salah satu bagian yang amat ramai diperbincangkan dalam
dunia theologia. Secara lebih khusus yakni: keselamatan manusia pada masa yang
akan datang. Justru hal itu sering menjadi kontroversi bila tidak dilihat dari
sudut pandang yang tepat dan benar. Alkitab memberi kesaksian bahwa, dalam
menentukan keselamatan manusia dimasa yang akan datang, Allah memberi hukum dan
takdir keselamatan bagi manusia. Hukum dan takdir keselamatan manusia ada di
dalam Yesus Kristus.
Semua konteks ayat yang bicara
tentang predestinasi itu intinya adalah Yesus Kristus. Kisah 4:27-28; inti
predestinasi adalah ‘di dalam Yesus Kristus’. Roma 8:28-30; inti predestinasi
itu adalah ‘Yesus Kristus’. 1 Korintus 2:6-8; inti predestinasi itu adalah
‘Yesus yang disalibkan’. Efesus 1:3-14, yang di dalamnya ada ayat 5 dan 11,
tercatat 4 kali ‘di dalam Yesus Kristus’; 6 kali ‘di dalam Dia’; 1 kali ‘di
dalam kasih’.
‘Di dalam Yesus Kristus’ lah
keselamatan manusia ditentukan, Kisah 4:12. Alkitab mencatat bahwa Yesus
Kristus itu menjadi ‘Batu Penjuru’, Mazmur 118:22-23; Yesaya 28:16; Matius
21:42; Markus 12:10-11; Kisah 4:11-12; Efesus 2:20. Batu penjuru artinya:
ukuran, patokan, standar. Tetapi batu penjuru itu mempunyai fungsi ganda. Bila
orang tidak mau hidup dengan patokan, ukuran atau standar keselamatan itu,
‘batu penjuru’ itu pada sisi lain menjadi ‘batu sandungan’, Yesaya 8:13, 15;
Lukas 20:17-18; Roma 9:32-33; 1 Petrus 2:6-8. ‘Batu sandungan’ itu juga adalah
‘batu kebinasaan’, Lukas 20:18. Yudas Iskariot adalah ‘anak kebinasaan – son of
perdition’, Yohanes 17:12; Efesus 2:2; Kolose 3:6, karena ia murtad dan
berbalik menyerahkan Yesus, Yohanes 13:18; 6:70-71. Binasanya Yudas Iskariot
itu bukan ditentukan oleh Allah, melainkan pilihannya sendiri, ia tersandung
pada ‘batu sandungan’ itu.
Bila penentuan selamat atau
binasanya manusia dilakukan oleh Allah secara langsung kepada manusia, maka hal
itu sama persis dengan fatalisme – percaya kepada takdir. Ya, Calvinisme itu
sama dengan fatalisme. Tetapi yang benar yakni: Alkitab bersaksi dari Kejadian
sampai Wahyu, bahwa hukum dan takdir keselamatan manusia itu dilakukan Allah
melalui Yesus Kristus. Di dalam Yesus Kristuslah hukum dan takdir
(predestinasi) keselamatan itu ada, 1 Petrus 1:20cf: 2 Timotius 1:9-10; Titus
1:2-3; Wahyu 13:8. Disinilah terbukti bahwa Allah itu bukan hanya Maha Kuasa
dan Maha Tahu, tetapi juga sekaligus Maha Kasih, Maha Kudus, Maha Benar dan
Maha Adil.
4.6 Allah itu Maha Benar.
Menarik sekali membahas kata ‘benar’
dalam bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan sifat-sifat Allah. Dalam bahasa
Indonesia kata ‘benar’ untuk istilah theologi mempunyai dua arti penting yang
saling berkaitan. Pertama: ‘Benar’ dalam arti, tidak salah, Amsal 24:24;
righteous (Inggris) – tsaddiq (Ibrani) – dikaios (Grika). Kedua: ‘Benar’ dalam
arti, tetap, tidak berubah, kekal; – true (Inggris) – emeth (Ibrani) –
alethinos (Grika). Kedua kata dalam bahasa aslinya itu berbeda dengan
pengertiannya. Tetapi saling mengisi dan melengkapi dalam penerapannya.
a. Allah itu Benar (dalam arti
Righteous).
Benar ini artinya: suatu keadaan
yang benar atau tingkah laku yang benar yang diukur dengan standar Ilahi.
‘Benar’ dalam arti kata righteous ini juga merupakan dasar dari dua sifat Allah
yang lain, yakni: ‘Kudus’ (Kisah 3:14; Wahyu 16:5) dan ‘adil’ (kata benar ini
sering diterjemahkan dengan kata adil). Jadi, ‘benar’ ini sebenarnya adalah
tingkah laku Allah sendiri, yang benar dalam standar Ilahi. TUHAN Allah itu
benar (selalu dibandingkan dengan keadaan dan tingkah laku manusia yang salah)
Keluaran 9:27; 2 Tawarikh 12:6; Ezra 9:15; Nehemia 9:8, 33; Mazmur 11:7,
119:137; Yesaya 45:21; Yeremia 12:1; Ratapan 1:18; Daniel 9:14; Yohanes 17:25;
Wahyu 16:5, 7. Pada gilirannya, Yesus Kristus itu benar, Lukas 23:47; 2
Timotius 4:8; 1 Yohanes 2:1-2; 3:7. Yesuspun disebut ‘orang benar – The Righteous
One’ – Kisah 3:14; 7:52; 22:14.
Karena Allah itu benar, maka
tindakan atau perbuatan-perbuatanNya adalah ‘benar’ – kata ‘benar’ (atau
kebenaran) ini sering diterjemahkan dengan kata ‘adil’ (atau keadilan), Mazmur
36:7, 11; 40:11; 51:16; 72:2, 15-16, 19, 24; 72:1-2; 88:13; 89:17; 103:17;
111:3; 19:40, 142; 143:1, 11; 145:7; Daniel 9:16; Mikha 6:5. Karena Allah itu
benar, muncullah hukum Allah yang benar – tsaddiq (Ibrani), Mazmur 19:9; 111:3
119:7, 62, 106, 160, 164; 2 Korintus 9:9. Pada tahap berikutnya muncullah
pengadilan atau penghakiman Allah yang benar atau adil, Mazmur 72:1-2; Roma
2:5-6; 2 Tesalonika 1:5-6; Wahyu 16:7; 19:2. Karena Ia adalah hakim yang benar
atau adil yang menghakimi dengan benar atau adil pula, Yeremia 11:20; 2
Timotius 4:8; 1 Petrus 2:23; Wahyu 16:5-7.
Karena Allah itu benar, maka dari kebenaran Allah itulah manusia menjadi benar – menjadi ‘orang benar’. Dengan tegas Roma 1:17 menulis: ‘Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘orang benar hidup oleh iman’. Walaupun memang semua orang telah berdosa, tetapi ia dapat menjadi orang benar, karena ia percaya dan dibenarkan dalam iman, Kejadian 15:6. Dalam Roma 3:26 ditegaskan, “. . . bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus”. Lihat juga Roma 3:21-26, 28:30; Galatia 2:16. Tetapi iman dan pembenaran karena percaya, iapun dibenarkan karena perbuatan kebenarannya, Matius 5:20; Kisah 10:35; Roma 5:18; 6:16; Titus 3:5; Ibrani 11:33; 1 Yohanes 2:29; 3:7, 10; Wahyu 22:11; Matius 3:15; Lukas 7:29; 1 Yohanes 2:17; 2 Petrus 1:5-8.
Karena Allah itu benar, maka dari kebenaran Allah itulah manusia menjadi benar – menjadi ‘orang benar’. Dengan tegas Roma 1:17 menulis: ‘Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: ‘orang benar hidup oleh iman’. Walaupun memang semua orang telah berdosa, tetapi ia dapat menjadi orang benar, karena ia percaya dan dibenarkan dalam iman, Kejadian 15:6. Dalam Roma 3:26 ditegaskan, “. . . bahwa Ia benar dan juga membenarkan orang yang percaya kepada Yesus”. Lihat juga Roma 3:21-26, 28:30; Galatia 2:16. Tetapi iman dan pembenaran karena percaya, iapun dibenarkan karena perbuatan kebenarannya, Matius 5:20; Kisah 10:35; Roma 5:18; 6:16; Titus 3:5; Ibrani 11:33; 1 Yohanes 2:29; 3:7, 10; Wahyu 22:11; Matius 3:15; Lukas 7:29; 1 Yohanes 2:17; 2 Petrus 1:5-8.
b. Allah itu benar (dalam arti
true).
Benar dalam arti true ini adalah
kata sifat yang berarti: betul, sejati, asli, tulen, jujur, murni,
sungguh-sungguh. Kata benar ini menunjuk pada sesuatu yang secara realita
kokoh, permanen, tidak berubah, kekal. TUHAN Allah itulah yang benar – true
(dibandingkan dengan keadaan manusia yang fana), Yeremia 10:10; Yohanes 3:33;
8:26; Roma 3:4. Ungkapan tentang Allah yang benar itu dikokohkan lagi oleh
kesaksian Alkitab, Yohanes 7:28; 17:3; 1 Tesalonika 1:9; 1 Yohanes 5:20; Wahyu
6:10. Jadi kata ‘benar’ dalam arti true disini sebenarnya menunjuk pada sesuatu
yang hakiki atau substansial, sehingga yang lain itu atau yang serupa dengannya
adalah tidak benar, tidak sungguh, tiruan. Itulah sebabnya Allah menyatakan
siapa diriNya: “. . . tidak ada Allah lain selain dari padaKu . . .”, Ulangan
4:39; Yesaya 44:6, 8; Yohanes 17:3. Yesuspun menyebut diriNya ‘Kebenaran – the
Truth’, Yohanes 14:6. Roh Kudus pun disebut ‘Roh Kebenaran’ – the Spirit of
Truth’, Yohanes 14:17; 16:13; 1 Yohanes 4:6.
Karena Allah itu benar – true, maka
Firman Allah itu adalah kebenaran – the Truth, 2 Samuel 7:28; 1 Raja-raja
17:24; Yohanes 17:17; 2 Korintus 6:7; Efesus 1:33; 2 Timotius 2:15; Wahyu 19:9.
Firman Allah yang adalah kebenaran itu, pasti kekal, Yesaya 40:8; 1 Petrus
1:25; Firman Kristus pun kekal, Matius 24:35; Markus 13:31; Lukas 21:33. Karena
Allah itu benar dan FirmanNya adalah kebenaran, maka dari FirmanNya itu muncul
hukum Allah. Allah memberi hukumNya untuk menyatakan keadilanNya. Bila keadilan
manusia berdasarkan haknya, maka keadilan Allah berdasarkan kebenaran (dalam
arti righteousness) yang dinyatakan dalam Firman Kebenaran (dalam arti
truth-Nya).
Karena Allah itu benar – true, maka
dari kebenaran – truth Allah itulah manusia dikuduskan atau dimurnikan. Setelah
orang percaya dibenarkan, maka dalam tahap keselamatan selanjutnya, ia
dikuduskan. Firman Allah (Firman Kebenaran – The Truth) dan Roh Kudus (Roh Kebenaran
– The Spirit of Truth) lah yang menguduskan orang percaya, Yohanes 17:17, 19;
Ibrani 10:22; Yakobus 4:8; Titus 2:14; 1 Tesalonika 4:3-4; 1 Petrus 1:2; Kisah
20:32; Roma 15:16; 1 Korintus 6:11; Efesus 5:26; 2 Tesalonika 2:13; 1 Petrus
1:12. Roh Kudus bekerja menguduskan orang percaya lewat pembenaran. Tetapi
Firman Allah menguduskan jiwa manusia ketika wujud sikap batinnya berbentuk
ketaatan pada kebenaran (truth), yang menjadi perbuatan kebenaran (the act of
righteousness), 1 Petrus 1:22; 2 Tesalonika 2:13.
Sifat Allah yang benar itu memberi
warna pada sifat Allah yang lain, bila sifat benar – true itu dipasangkan
dengan sifat-sifat Allah yang lain: Allah itu benar – true, dan hidup, Yeremia
10:10; 1 Tesalonika 1:9; 1 Yohanes 5:20.
Allah itu benar – true, dan kudus, Wahyu 6:10.
Allah itu benar – true, dan adil, Wahyu 6:10; 15:3; 16:7; 19:2.
Allah itu benar – true, dan setia, Wahyu 19:11.
Allah itu benar – true, dan maha kuasa, Wahyu 15:3; 16:7.
Allah itu benar – true, dan kudus, Wahyu 6:10.
Allah itu benar – true, dan adil, Wahyu 6:10; 15:3; 16:7; 19:2.
Allah itu benar – true, dan setia, Wahyu 19:11.
Allah itu benar – true, dan maha kuasa, Wahyu 15:3; 16:7.
Jadi, bila sifat Allah yang benar
(dalam arti kata ‘righteous’) dan benar (dalam arti kata ‘true’) dipadukan,
maka akan didapat skhema tentang ‘Allah yang benar’ seperti dibawah ini:
Righteous
Benar dalam arti ‘righteous’, II Tawarikh 12:6
Semua manusia berdosa
Karena Allah benar – righteous, maka tindakannya pasti adil
Dari kebenaran – righteousness-Nya, muncul keadilan Allah
Dari kebenaran – righteousness-Nya, manusia dibenarkan (justified). Hal merupakan hasil dari sikap batin manusia-yakni respons pribadi pada Firman kebenaran atau The Word of Truth itu, yakni percaya.
Benar dalam arti ‘righteous’, II Tawarikh 12:6
Semua manusia berdosa
Karena Allah benar – righteous, maka tindakannya pasti adil
Dari kebenaran – righteousness-Nya, muncul keadilan Allah
Dari kebenaran – righteousness-Nya, manusia dibenarkan (justified). Hal merupakan hasil dari sikap batin manusia-yakni respons pribadi pada Firman kebenaran atau The Word of Truth itu, yakni percaya.
True
Benar dalam arti ‘true’, Yeremia 10:10
Semua manusia fana
Karena Allah benar – true, maka Firman pasti kekal
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya, muncul hukum Allah
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya,manusia dikuduskan (sanctified). Hal ini menjadi nyata dari hasil sikap batin yang telah dibenarkan. Sikap taat karena pengudusan jiwa itu, berbuah-kan perbuatan dalam kebenaran – the act of righteousness; perbuatan dalam iman.
Benar dalam arti ‘true’, Yeremia 10:10
Semua manusia fana
Karena Allah benar – true, maka Firman pasti kekal
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya, muncul hukum Allah
Dari Firman kebenaran – Truth-Nya,manusia dikuduskan (sanctified). Hal ini menjadi nyata dari hasil sikap batin yang telah dibenarkan. Sikap taat karena pengudusan jiwa itu, berbuah-kan perbuatan dalam kebenaran – the act of righteousness; perbuatan dalam iman.
Betapa ajaibnya sifat-sifat Allah
itu bagi manusia. Tidak heran bila orang percaya disebut orang benar, karena
kebenaran Allah yang beraspek ganda itu dapat menjadi bagian orang percaya.
Bandingkanlah dengan kebenaran manusia, Yesaya 64:6.
4.7 Allah itu Maha Baik.
Bilangan 19:19; 1 Tawarikh 16:34; 2
Tawarikh 5:13; 5:41; 7:3; Ezra 3:11; Mazmur 25:8; 34:9; 69:17; 73:1; 86:5;
100:5; 135:3; 145:9; Yeremia 33:11; Matius 5:45; 19:17; Markus 10:18; Lukas
18:19. ‘Baik’ adalah suatu sifat yang menyenangkan dan disenangi oleh semua
orang karena dilatar-belakangi oleh kebajikan atau perbuatan baik. Oleh
karenanya, ‘baik’ itupun merupakan bagian utama dalam sistem nilai: “. . .
tidak ada hukum yang menentang hal-hal itu”, Galatia 5:23.
Allah itu memang baik. Bila segala
kebaikan manusia direndengkan dengan kebaikan Allah, maka nyata benar bedanya:
Lukas 18:19 mencatat: “Jawab Yesus, mengapa kau katakan Aku baik? Tak
seorangpun yang baik selain dari Allah saja . . .” Memang banyak manusia yang
mempunyai nilai-nilai baik, Lukas 7:4-5; Kisah 10:1-2. Tetapi kebaikan manusia
tidak lengkap dan sempurna, dengan kata lain, kebaikan manusia itu terbatas
sebagaimana sifat keterbatasan manusia itu sendiri. Kebaikan Allah itu lengkap
dan sempurna serta tidak terbatas: “Bersyukurlah kepada TUHAN sebab Ia baik.
Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setiaNya”, Mazmur 136.
Dari pemahaman yang didapat melalui
Firman Allah maka kebaikan Allah itu: Pertama, berlaku umum untuk semua
ciptaanNya. Kedua, terbaik untuk semua ciptaanNya. Ketiga, lengkap. Keempat,
kekal. Banyak hal yang dapat disebut kebaikan Allah, tetapi ada tiga pokok
terpenting yang menjadi inti di dalamnya, yakni: Kasih; Kasih karunia
(anugerah); Kasih setia.
a. Kasih.
Istilah kasih dalam kitab Perjanjian
Baru ditulis dengan tiga kata yang paling terkenal, yakni: agape, phileo dan
eros; serta masih ada dua lagi yang jarang disebut-sebut yakni: thelo dan
storge. Walaupun demikian, standar arti kata kasih itu ada dalam kata ‘agape’
itu. Untuk memahami isi kasih Paulus menulisnya dalam 1 Korintus 13:4-8, juga
ia mengekspresikan penerapan kasih itu, Roma 13:8-10; 15:2; Kolose 3:12-14.
Kasih itu nampak dalam aksi atau penerapannya, bukan sekedar kata-kata atau
konsepnya, 1 Yohanes 3:18. Tidak heran jika seluruh hukum Taurat hanya dapat
disimpulkan menjadi dua bagian besar hukum, yakni: kasih kepada Allah dan kasih
kepada sesama manusia, Matius 22:36-40; Markus 12:28-31. Tidak heran pula,
tindakan kasih adalah memberikan nyawa bagi mereka yang dikasihi, Yohanes
10:11; 15:13; 1 Yohanes 3:16.
Allah itu adalah kasih, 1 Yohanes
4:16; dan kasih Allah itu adalah dasar tindakan Allah menyelamatkan manusia,
Yohanes 3:16. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih Allah. Kasih itu
menutupi dosa yang banyak, tetapi bukannya mengampuni dosa. Pengampunan dosa
itu harus melalui proses hukum keselamatan. Allah memang tidak mengingini
seorang manusia pun binasa karena kasihNya, tetapi keselamatan manusia itu
ditentukan lewat proses hukum keselamatan itu, Yehezkiel 18:23; 33:11; 1
Tesalonika 5:9; 2 Petrus 3:9.
Jelas sekali, Allah itu Maha Kasih,
dan penerapan kasih Allah itu dialami langsung oleh manusia. Kasih itu selalu
‘dua arah’. Arah pertama, adalah Allah yang menyatakan kasihNya kepada manusia.
Oleh kasihNya, Allah menyediakan keselamatan bagi manusia – yang tidak secara
langsung diberikan kepada manusia – tetapi lewat Yesus Kristus. Jelas sekali,
bahwa orang percaya diselamatkan lewat jalan satu-satunya yakni Yesus Kristus.
Penentuan pilihan (predestinasi) Allah bagi keselamatan manusia ada dalam Yesus
Kristus. Arah kedua, adalah manusia yang memberi respons terhadap tindakan
Allah dengan menyatakan kasih kepada Allah. Tetapi kasih manusia kepada Allah
itu menjadi benar bila manusia mentaati hukum-hukum Allah, Yohanes 14:15, 23;
Roma 13:10. Semua hukum Allah itu menunjuk kepada Yesus. Dari pemahaman ini
menjadi lebih jelas bahwa ‘pernyataan kasih Allah kepada manusia’ itu lewat
Yesus Kristus. Sedangkan ‘respon manusia untuk mengasihi Allah’ itu harus lewat
Yesus Kristus.
b. Kasih Karunia (Anugerah).
Kasih karunia atau anugerah; Grace
(Inggris); Gratia (Latin); Kharis (Grika), adalah pemberian Allah dengan
cuma-cuma kepada manusia lewat iman, Roma 4:16. Kasih karunia ini merupakan
bagian dari kebaikan Allah, Efesus 2:7. Kitab Perjanjian Lama lah yang
meletakkan dasar pemahaman kasih karunia itu, walaupun ayat-ayatnya sedikit.
Kasih karunia; Khen (Ibrani) adalah pemberian pihak yang lebih tinggi kepada
pihak yang lebih rendah. Kasih karunia Allah kepada manusia, Kejadian 6:8;
Keluaran 33:12cf; Bilangan 6:25; Hakim-hakim 6:17; Mazmur 77:10; 84:12; Yeremia
31:2. Ada pula kasih karunia manusia kepada manusia, yang dalam bahasa
Indonesia diterjemahkan dengan kata ‘kasih’; ‘kasihan’; ‘belas kasih’; ‘suka’
atau ‘murah hati – kemurahan’; Kejadian 32:5; 33:8cf; 39:4; 50:4; Bilangan
32:5; Rut 2:2, 10; 1 Samuel 20:3; 27:5; 2 Samuel 14:22; 16:4; Ester 2:17.
Prinsip ini dutulis dalam Ibrani 7:7.
Dari dasar pemahaman ini, jelas
bahwa ‘perjanjian-perjanjian’ (testaments) Allah bagi umat manusia, berdasarkan
prinsip kasih karunia ini. Di satu sisi, Allah itu sebagai pihak yang superior;
di sisi lain, orang percaya itu sebagai pihak yang inferior. Allah memberi
kasih karunia dalam sifat baikNya itu, manusia hanya menerima dan menerima.
Manusia tidak ada ‘tegen prestitie’ (Belanda) – ‘suatu perbuatan atau materi
yang diberikan sebagai balas jasa’ – untuk diberikan kepada Allah, selain
percaya dan setia melaksanakan hukum-hukum Allah, Kejadian 17:4, 9.
Kitab Perjanjian Baru mengulas kasih karunia itu begitu rinci. Ternyata kebaikan Allah itu bersifat umum kepada semua mahluk. Walaupun kehidupan semua manusia itu adalah kasih karunia Allah juga, 1 Petrus 3:7; dan kasih karunia juga untuk semua manusia, Roma 5:15cf; Ibrani 2:9, tetapi ada kasih karunia Allah yang lebih spesifik, yang lebih diprioritaskan untuk orang-orang percaya. Di dalam Yesus Kristuslah ada segala kepenuhan kasih karunia dan kebenaran Allah, Lukas 2:40; Yohanes 1:14, 16; Efesus 1:6; 2 Timotius 1:9; 1 Petrus 5:10. Lalu dari Yesus Kristus, kasih karunia itu dialirkan, Yohanes 1:17; Roma 16:20; 2 Korintus 8:9; Galatia 1:6; Efesus 2:7. Ada ‘Injil kasih karunia’, Kisah 20:24; ‘firman kasih karunia’, Kisah 20:32; ‘tahta kasih karunia’, Ibrani 4:16; dan ‘roh kasih karunia’, Ibrani 10:29.
Kitab Perjanjian Baru mengulas kasih karunia itu begitu rinci. Ternyata kebaikan Allah itu bersifat umum kepada semua mahluk. Walaupun kehidupan semua manusia itu adalah kasih karunia Allah juga, 1 Petrus 3:7; dan kasih karunia juga untuk semua manusia, Roma 5:15cf; Ibrani 2:9, tetapi ada kasih karunia Allah yang lebih spesifik, yang lebih diprioritaskan untuk orang-orang percaya. Di dalam Yesus Kristuslah ada segala kepenuhan kasih karunia dan kebenaran Allah, Lukas 2:40; Yohanes 1:14, 16; Efesus 1:6; 2 Timotius 1:9; 1 Petrus 5:10. Lalu dari Yesus Kristus, kasih karunia itu dialirkan, Yohanes 1:17; Roma 16:20; 2 Korintus 8:9; Galatia 1:6; Efesus 2:7. Ada ‘Injil kasih karunia’, Kisah 20:24; ‘firman kasih karunia’, Kisah 20:32; ‘tahta kasih karunia’, Ibrani 4:16; dan ‘roh kasih karunia’, Ibrani 10:29.
Keselamatan adalah kasih karunia,
Titus 2:11; 1 Petrus 1:10, karena Yesus mengalami maut oleh kasih karunia Allah
bagi semua manusia, Ibrani 2:9. Penebusan oleh darahNya adalah kasih karunia,
Efesus 1:7; pembenaran adalah oleh kasih karunia, Titus 3:7. Tetapi keselamatan
sebagai kasih karunia itu harus diterima dengan iman dan percaya, Roma 5:1-2; 11:5cf;
Efesus 2:5-8; Kisah 14:3; 15:11. Iman dan percaya itu bukan ‘tegen prestatie’
(Belanda), melainkan ‘prestasi’ – keputusan pribadi untuk menerima semua
pembenaran Firman Allah dan setia melakukan segala perintah Allah. Bila tidak
demikian maka salib Yesus Kristus itu akan menjadi ‘batu sandungan’ , Galatia
5:11.
Bagi mereka yang sudah menerima
keselamatan itu, Allah memberi kasih karunia yang lebih spesifik. Ada kasih
karunia untuk orang banyak, yang dalam hal ini adalah Jemaat Allah, Kisah 4:33;
11:23; 13:43; 1 Korintus 1:4; 2 Korintus 1:15; 4:15; 8:1. Ada juga kasih
karunia bagi pribadi-pribadi, tetapi jenisnya berbeda-beda menurut ukuran
pemberian Kristus, Roma 12:3-6; Efesus 4:7; 1 Petrus 4:10; 1 Korintus 3:10; 2
Korintus 12:9; Galatia 1:15; 2-9; Efesus 3:2; Filipi 1:7; 1 Timotius 1:14;
Ibrani 4:16; 1 Petrus 1:13. Tetapi jangan lupa; kasih karunia itu dapat
ditolak; disia-siakan ; atau disalah-gunakan, Roma 6:1cf; 1 Korintus 15:10; 2
Korintus 6:1; Galatia 5:4cf; Ibrani 12:15; Yudas 1:4. Orang-orang Yahudi itupun
menolak kasih karunia Allah karena menolak Yesus, Galatia 2:21. Berarti
keselamatan yang Allah anugerahkan dapat hilang karena menolak, menyia-nyiakan
atau menyalahgunakan kasih karunia Allah itu. Sungguh keliru pandangan
Calvinisme yang mengajar berdasarkan ‘doktrin pilihan’ bahwa kasih karunia itu
hanya untuk sebagian manusia dan kasih karunia itu tidak dapat ditolak. Dari
penerjemahan kata ini dalam kitab Perjanjian Lama, jelas kelihatan bahwa kasih
karunia ini merupakan bentuk ‘kebaikan Allah’ atau ‘kemurahan Allah’ bagi
manusia, sebagai pihak superior kepada pihak inferior.
c. Kasih Setia.
Kalau kata kasih karunia ditulis
begitu banyak dalam kitab Perjanjian Baru, kata ‘kasih setia’ ditulis begitu
banyak dalam kitab Perjanjian Lama; sekitar 250 kali disebutkan. Sebenarnya
dalam bahasa aslinya kata kasih setia itu ditulis dengan ‘khesed’ (Ibrani) atau
‘eleos’ (Grika). Kata ‘khesed’ ini tidak dapat diterjemahkan begitu saja ke
dalam bahasa-bahasa lain. Dalam bahasa Inggris saja kata ini diterjemahkan
dengan kata ‘mercy’ atau dengan frasa ‘loving kindness’ atau ‘steadfast love’.
Frasa terakhir yang dipakai adalah untuk menunjuk kepada kasih Allah yang setia
terhadap perjanjian-perjanjianNya. Selain itu ada variasi arti yang cukup luas,
yakni: kemurahan; kebaikan dan panjang sabarnya Allah, yang amat berlimpah.
Dipakainya kata kasih setia yang begitu banyak dalam kitab Perjanjian Lama,
ditambah dengan arti yang begitu luas, menunjuk pada kebaikan Allah yang luar
biasa, dibanding dengan tegar tengkuknya Israel itu.
Dalam kitab Perjanjian Lama, hanya
beberapa ayat yang menunjukkan kata kasih setia dari manusia kepada manusia.
Pada umumnya ayat-ayat itu adalah ungkapan kasih setia Allah kepada manusia.
Pengungkapan kata kasih setia yang terbanyak ada dalam kitab Mazmur. Dengan
kata ‘khesed’ ini pemazmur mengungkapkan keyakinannya yang teguh atas kebaikan
TUHAN yang menjadi sumber pertolongan, kekuatan, penghiburan, kemenangan. Semua
hal baik ini dialami oleh si pemazmur bila ia juga taat dan setia melakukan
segala hukum Allah.
Sifat kasih setia Allah itu
seimbang. Di satu pihak Allah menunjukkan kasihNya yang setia terhadap
perjanjian-perjanjianNya. Di pihak lain, orang-orang percaya yang menerima
perjanjian Allah itu harus taat dan setia melakukan segala hukum Allah,
Kejadian 17:4, 9. Bila orang percaya itu tidak setia, Allah tetap setia, 2
Timotius 2:13. Tetapi kesetiaan Allah itu dinyatakan dalam menghukum
orang-orang percaya yang tidak setia itu sampai mereka bertobat. Bila mereka
yang tidak setia itu sudah bertobat, kembalilah Allah menunjukkan kebaikanNya
itu. Bila tidak bertobat, mereka akan binasa, Keluaran 20:5-6; Bilangan 14:8-9;
Ulangan 5:9-10; 7:9-11, 12-26; 2 Samuel 7:15; 1 Raja-raja 3:16; 8:23; 1
Tawarikh 17:13; 2 Tawarikh 6:14; Nehemiah 1:5; 9:32-37; Ayub 37:13; Mazmur
36:6-8; 52; 62:13; 66:16-20; 89:15; 90:13-17; 101; 103:6-14; 15-18; 106:7;
119:124; Amsal 14:22; Yesaya 16:5; Ratapan 3:22, 32; Daniel 9:4; Hosea 10:12;
Mikha 6:8; Zakharia 7:9; Matius 9:13; 12:7cf; 23:23; Lukas 1:50; Galatia 6:16;
Titus 3:5; 1 Petrus 1:3.
Itulah sebabnya, kata ‘kasih setia’
itu dipasangkan dengan ‘kebenaran – the truth’, yang berarti : ‘pengajaran yang
benar – yang berlawanan dengan pengajaran yang salah atau kesesatan’, Amsal
3:3; 14:22; 16:6; 20:28; Yesaya 16:5; Hosea 4:1; 6:4-6; 12:7cf.
4.8 Allah itu Maha Kudus.
Kitab Perjanjian Lama banyak
mencatat kata ‘kudus’ atau ‘suci’ untuk menunjukkan keistimewaan sifat Allah
yang satu ini. Dalam bahasa Ibrani, kata ‘qadosh’ – kudus itu, mempunyai arti
dasar : ‘separate’, ‘set apart’ – ‘memotong’, ‘memisahkan’. Kata ini merupakan
salah satu kata yang paling dalam maknanya di dalam kitab Perjanjian Lama, yang
ditujukan untuk memberi gambaran bukan hanya pada sifat-sifat Allah, tetapi
juga keseluruhan pribadi Allah, Imamat 11:44, 45; 19:2; 20:26; 21:8; 1 Samuel
2:2; 6:20; Mazmur 22:4; 99:3, 5, 9; 111:9; Yesaya 6:3. Idea kekudusan ini
ditampung dalam kitab Perjanjian Baru dengan kata ‘hagios’, Lukas 1:49; Yohanes
17:11; 1 Petrus 1:15-16; Wahyu 4:8; 6:10.
Kalau dikatakan Allah itu Maha
Kudus, itu bermakna bahwa Allah secara absolut berbeda dengan mahluk
ciptaanNya. Terpisah dari dosa dan cacat moral secara absolut, 2 Raja-raja
19:22; Ayub 6:10; Yesaya 1:4; 5:19; 17:7; 37:23; 60:9, 14; Yeremia 50:29; 51:5;
Yehezkiel 39:7; Hosea 11:9; Habakuk 1:12; 3:3. Tidak ada konsep kekudusan dalam
dunia ini yang sama atau menyerupai konsep Alkitab. Jelas sekali dalam begitu
banyak ayat Alkitab, bahwa kata kudus itu dipertentangkan secara radikal dengan
dosa. Sebagai contoh: Yesaya 6:3-5, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam
. . . Celakalah aku, . . . sebab aku ini seorang najis bibir”. Habakuk 1:13
menulis, “Mataku terlalu suci untuk melihat kejahatan.”
Kudus adalah sifat yang terutama,
yang mewarnai pribadi dan sifat-sifat Allah yang lain. Pikiran, perasaan dan
keinginan Allah sebagai pribadi adalah kudus. Sama sekali berbeda sifatnya
dengan pikiran, perasaan dan keinginan manusia yang sudah tercemar oleh dosa.
Penerapannya dalam sifat-sifat Allah yang lain itu nyata dan sungguh harmonis:
Kedaulatan dalam ke-Maha Kuasaan Allah itu kudus; bila tidak demikian maka
kedaulatan itu akan merosot sifatnya menjadi kesewenang-wenangan, bahkan kejam.
Fatalisme dan Calvinisme itu sewenang-wenang dan kejam. Keadilan Allah tanpa
kekudusan akan menjadi pembalasan dendam. Itulah sebabnya bagi manusia diberi
kesempatan untuk percaya dan bertobat. Bila kebaikan Allah: kasih, anugerah,
belas kasihan, kesabaran, kemurahan, tanpa kekudusan maka hasilnya adalah tidak
ada neraka. Kebaikan itu akan menjadi kemanjaan tanpa batas kepada manusia,
bukan merupakan kebaikan yang menyempurnakan. Jadi, sifat kudus Allah itu
mewarnai seluruh sifat Allah sehingga sifat-sifat itu mencapai sasaran yang
tepat dengan cara yang benar.
Semua manusia sudah berdosa di
hadapan Allah yang kudus. Nampaknya dua objek ini merupakan dua kutub yang
tidak dapat bertemu. Tetapi justru dalam kekudusanNya, Allah memberi isyarat
keselamatan bagi manusia, yakni: “Kuduslah kamu karena Aku kudus”, Imamat
11:44-45: 19:2; 20:26; 21:8; 1 Petrus 1:16. Seluruh rangkaian Alkitab memberi
gambaran umum, yakni: Pertama: Manusia yang sudah berdosa, memang terpisah dari
Allah dan sia-sialah usaha manusia mencari Allah dengan kekuatannya sendiri.
Kedua: Allah oleh kebaikanNya, menyediakan perantara bagi manusia, supaya
manusia dapat menghampiri Allah. Perantara itu mulai dikenal manusia dengan
‘korban darah’ yang menunjuk kepada Yesus yang tersalib di Golgota. Keadilan
Allah terpenuhi. Ketiga: Keselamatan itu memang anugerah Allah, tetapi juga
merupakan proses penggenapan hukum Allah. Ibadah Tabernakel merupakan lambang
proses keselamatan itu: Dari luar; masuk ke halaman; masuk ke ruang suci; dan
akhirnya masuk ke ruang maha suci. Keempat: “Tanpa kekudusan tidak seorangpun
akan melihat Allah”, Ibrani 12:14. Hal ini sebenarnya menunjuk pada peran Roh
Kudus dalam keselamatan manusia. Inilah hidup dalam takut akan Allah. Tidak
sekedar sudah sampai pada percaya, tetapi harus dilangsungkan sampai kekudusan
– kesempurnaan.
Dibandingkan dengan kitab Perjanjian
Lama, maka kitab Perjanjian Baru hanya sedikit mencatat tentang kekudusan.
Apalagi, dalam Perjanjian Lama begitu banyak upacara korban sembelihan bagi
pengampunan dosa. Tetapi Perjanjian Baru mencakup semua korban sembelihan itu
dalam korban Yesus di kayu salib. Kemudian kitab Perjanjian Baru menempatkan
Roh Kudus berperan mendewasakan, menguduskan dan menyempurnakan Gereja Tuhan.
4.9 Allah itu Maha Adil.
Dapat dibayangkan bila kekuasaan itu
identik dengan keadilan (kasihpun dapat ditafsirkan menjadi kekuasaan). Maka
apa yang ditetapkan oleh penguasa itu adalah keadilan, itulah tirani. Tetapi
yang benar adalah, unsur keadilan dapat dipahami tersendiri di samping
kekuasaan.
Alkitablah yang memberi patokan
keadilan bagi umat manusia. Dalam menerapkan segala kedaulatanNya, Allah
memberi hukum kepada semua ciptaanNya. Di dalam hukumNya nampak dengan jelas
ke-Maha AdilanNya. Oleh keadilanNya, maka alam ciptaanNya yakni alam tak nampak
dan alam nampak berada dalam keadaan harmoni. Hukum-hukum alam yang berlaku di
bumi ini dalam keadaan harmonis. Planet bumi ini juga ada dalam keadaan harmoni
dalam sistim tata surya yang ada. Sedang tata surya (galaxy) kita ini juga ada
dalam harmoni, dalam sistim bima sakti – universe – melky way sistim atau alam
raya yang ada.
Bagi mahluk-mahluk termulia ciptaan
Allah; malaikat dan manusia, Allah menempatkan mereka secara khusus dalam
sistim hukumNya, sehingga mahluk-mahluk ini mempunyai hak dan kewajiban, Kolose
1:16; Kejadian 2:15-17. Sayang sekali mahluk-mahluk ciptaan itu melawan hukum
Allah, Yudas 1:6; Kejadian 3:6, mereka berdosa, ke-Maha Adilan Allahpun Nampak:
-Allah menjatuhkan hukuman bagi
malaikat-malaikat yang berdosa, Matius 8:29; Ibrani 2:16.
-Allah memberi hukum keselamatan bagi manusia yang berdosa, Kejadian 3:15.
-Allah menguduskan surga yang sudah sempat tercemar oleh dosa, setan dan malaikat-malaikat lain yang melawan Allah, Ibrani 9:23.
-Allah menyiapkan tempat penghukuman bagi malaikat-malaikat yang berdosa dan bagi manusia yang tidak taat pada hukum keselamatan yang Allah anugerahkan, Matius 25:41.
-Allah menyiapkan langit dan bumi baru.
-Allah memberi hukum keselamatan bagi manusia yang berdosa, Kejadian 3:15.
-Allah menguduskan surga yang sudah sempat tercemar oleh dosa, setan dan malaikat-malaikat lain yang melawan Allah, Ibrani 9:23.
-Allah menyiapkan tempat penghukuman bagi malaikat-malaikat yang berdosa dan bagi manusia yang tidak taat pada hukum keselamatan yang Allah anugerahkan, Matius 25:41.
-Allah menyiapkan langit dan bumi baru.
Harus dijelaskan bagaimana keadilan
Allah dalam hukum keselamatan Allah itu. Akibat dosa ialah kematian, Kejadian
2:17; 3:19; Roma 6:23; Ibrani 9:27. Keadilan Allah yang diungkapkan dalam
ToratNya, menegaskan adanya hukum pembalasan, yakni: kematian harus dibayar
dengan kematian, Keluaran 21:23-25; Imamat 24:20; Ulangan 19:21; itulah
keadilan yang seadil-adilnya. Upaya Allah menyelamatkan manusia dilakukan
sesuai dengan prinsip keadilan hukum Allah, yakni: Yesus yang tidak berdosa
harus mati menebus manusia yang berdosa. Dengan kematianNya di kayu salib maka
Yesus menggenapkan hukut Taurat, Matius 5:17; Yohanes 19:30.
Jadi jelas sekali bahwa keselamatan
yang Allah anugerahkan kepada manusia itu bukan diberikan langsung, berdasarkan
‘ke-Maha Kuasaan’, ‘ke-Maha Tahuan’, dan ‘ke-Maha Kasihan’ Allah saja,
melainkan dianugerahkan berdasarkan ‘ke-Maha Adilan’ Allah lewat Yesus Kristus:
-Keselamatan oleh Allah kepada
manusia itu, lewat Yesus Kristus dalam keadilan hukum Allah.
-Keselamatan itu untuk semua orang,
bukan hanya kepada beberapa orang yang ditentukan berdasarkan pilihan saja
(menihilkan Calvinisme/Hyper Calvinisme – doktrin tentang takdir). Keselamatan
itu hanya dapat diterima manusia dengan dasar percaya lewat hukum keselamatan.
Dalam ke-Maha AdilanNya, orang-orang yang tidak percaya akan menerima
penghukuman. Kepada manusia, Allah meminta pertanggung jawaban.
-Keselamatan Allah, ternyata tidak
begitu saja dianugerahkan kepada manusia karena kasih Allah, melainkan lewat
hukum keselamatan itu (menihilkan Calvinis Unversalisme; doktrin yang
mengajarkan bahwa semua manusia itu selamat oleh kasih Allah).
5. Allah
itu tidak dapat mengingkari diriNya sendiri;
Sifat-sifat Allah harus dilihat dari
satu kesatuan. Pernyataan 2 Timotius 2:13 yang berbunyi : “. . . karena Dia
tidak dapat menyangkal diriNya”, merupakan gambaran awal supaya manusia harus
berupaya memahami sifat Allah sebagai suatu kesatuan. Bila sifat-sifat Allah
itu dilihat secara terpisah-pisah tanpa melihat pada sifat-sifat Allah yang
lain, maka manusia akan melihat secara sepihak atau ekstrim, 1 Korintus 4:6;
dan kesimpulannya pasti tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya, 1
Korintus 2:13-16. Beberapa contoh cara pandang yang sepihak atau ekstrim, yakni
antara lain: Bila orang melihat secara ekstrim pada sifat kebaikan Allah, ia
pasti akan mengambil kesimpulan bahwa tidak ada neraka, sebab Allah tidak tega
menghukum manusia karena kasihNya – itulah Universalisme. Tetapi ternyata, ada
sifat Allah yang lain, yakni: keadilan Allah yang berdasarkan pada kebenaran
dan kekudusan Allah, sehingga Allah menyiapkan penghukuman bagi mereka yang
tetap melawan FirmanNya. “Allah tidak dapat menyangkal diriNya sendiri”.
Bila orang melihat secara ekstrim
pada sifat ke-Maha Kuasaan Allah, apalagi ditambah dengan ke-Maha Tahuan Allah,
maka ia akan tiba pada pandangan Fatalisme (Fatum – Latin) berarti nasib.
Manusia akan menganggp segala sesuatu yang menimpa dia adalah nasib yang
berdasarkan penentuan oleh kedaulatan Allah, termasuk selamat atau tidaknya ia
– itulah Calvinisme. Tetapi ternyata ada sifat-sifat Allah yang lain, yang
tidak boleh diabaikan. Sifat-sifat itu yakni: kebaikan Allah, berupa kasih,
kemurahan, kesabaran, 2 Petrus 3:9 yang tidak mengingini manusia binasa. Masih
ada lagi sifat Allah yang lain, yakni: kudus. Bila Allah yang menentukan
manusia itu masuk ke dalam neraka, dengan menyediakan neraka serta penderitaan
yang maha dahsyat itu, hal itu berarti Allah tidak kudus karena menjadi
penyebab dosa dan merancang kematian kekal serta sengsaranya itu bagi manusia.
Ingat baik-baik, bahwa hal serupa itu tidaklah mungkin, karena: “Allah tidak
dapat menyangkal diriNya sendiri”.
Untuk mendapatkan pemahaman yang
seimbang dan benar tentang Allah, hendaklah sifat-sifatNya dilihat dari semua
sudut pandang. Jangan melebih-lebihkan yang satu sehingga manusia berkesimpulan
secara extra biblika, sekaligus jangan mengurangi yang lain sehingga manusia
meremehkan sifat itu, 1 Korintus 4:6.
6. Rahasia
keselamatan manusia terungkap dalam sifat-sifat Allah.
Sebenarnya, dengan memahami
sifat-sifat Allah, rahasia keselamatan dari Allah itu terungkap. Manusia
menjadi tahu menempatkan dirinya pada posisi sebenarnya dihadapan Allah.
Beberapa contoh dapat dijelaskan:
Sifat Kudusnya Allah. Alkitab mencatat bahwa Allah itu kudus. Tetapi Alkitab juga menulis ucapan Allah: “Kuduslah kamu, karena Aku kudus”, Imamat 11:44-45; 19:2; 1 Petrus 1:16. Dengan demikian, dalam sifat kudusNya itu, Allah menginginkan manusia hidup sesuai sifatNya, yakni kudus. Dengan tegas Alkitab mencatat : ” . . . tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan”, Ibrani 12:14. Itu berarti manusia diperintahkan Allah untuk mencari tahu rahasia hidup kudus; dan rahasia hidup kudus itu diajarkan oleh Alkitab.
Sifat Kudusnya Allah. Alkitab mencatat bahwa Allah itu kudus. Tetapi Alkitab juga menulis ucapan Allah: “Kuduslah kamu, karena Aku kudus”, Imamat 11:44-45; 19:2; 1 Petrus 1:16. Dengan demikian, dalam sifat kudusNya itu, Allah menginginkan manusia hidup sesuai sifatNya, yakni kudus. Dengan tegas Alkitab mencatat : ” . . . tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan”, Ibrani 12:14. Itu berarti manusia diperintahkan Allah untuk mencari tahu rahasia hidup kudus; dan rahasia hidup kudus itu diajarkan oleh Alkitab.
Sifat Kebaikan Allah. Alkitab
mencatat bahwa Allah itu baik, Bilangan 10:19; Mazmur 25:8; 34:9; 69:17; 73:1;
86:5; 100:5; 135:3; 145:9; Matius 5:45. Di dalam kebaikanNya itu ada: Kasih;
Kasih Setia (Panjang sabar dan Kebaikan); Kasih Karunia (Anugerah) dan
lain-lain lagi. Oleh kebaikan Tuhan, maka Ia mengampuni dosa manusia dan
menganugerahkan keselamatan. Tetapi apakah dengan kebaikan Tuhan itu manusia
boleh bermanja-manja, berbuat apa saja sekehendak hatinya?, Roma 6:1cf. Jangan
salah tafsir! Paulus menulis panjang lebar dalam Roma 5:20; 6:14. Justru oleh
kebaikan Allah itu, maka orang percaya dapat hidup dalam hidup baru (Roma 6:4);
mati bagi dosa, hidup bagi Allah (Roma 6:11); tidak hidup dalam kuasa dosa
(Roma 6:14). Petrus menulis dengan tegas : “. . . Ia sabar terhadap kamu, . . .
supaya semua orang berbalik dan bertobat’, 2 Petrus 3:9.
Sifat ke-Maha Kuasaan Allah. Alkitab
mencatat bahwa Allah itu maha kuasa dan maha tahu. Ia berdaulat penuh dalam
setiap tindakanNya. Apakah dengan demikian manusia pasrah saja pada keadaan apa
adanya dalam dosanya menunggu nasib? Matius 25:24-25; Lukas 19:20-21.
Sebenarnya maksud Allah memperlihatkan ke-maha kuasaan dan kedaulatanNya itu
supaya: “Kiranya hati mereka selalu begitu, yakni takut akan Daku dan berpegang
kepada segala perintahKu”, Ulangan 5:29cf. Penulis Ibrani lebih menegaskan:
“Jagalah supaya kamu jangan menolak Dia yang menyampaikan Firman Allah di bumi,
tidak luput, apalagi kita, jika kita berpaling dari Dia yang berbicara dari
Surga?”, Ibrani 12:24.
7.
Kesimpulan Dalam bab ini ada tiga pokok penting yang dipelajari yakni:
‘Pembuktian bahwa Allah itu
berpribadi’; ‘keadaan dasar pribadi’; dan ‘sifat-sifat pribadi’ Allah. Ternyata
untuk memahami pribadi Allah itu, maka tiga pokok penting itu harus dipelajari
bersama, sebab ketiganya saling berkaitan erat dan saling menerangkan. Jadi
pribadi Allah itu dijelaskan oleh keadaan dasar dan sifat-sifatNya.
Dari penjelasan tentang pribadi Allah ini begitu pekat terasa: betapa kecilnya atau tidak berartinya manusia itu. Kesimpulannya dapat diungkapkan dalam empat pertanyaan yang dapat dijawab dengan berbagai pertanyaan:
Dari penjelasan tentang pribadi Allah ini begitu pekat terasa: betapa kecilnya atau tidak berartinya manusia itu. Kesimpulannya dapat diungkapkan dalam empat pertanyaan yang dapat dijawab dengan berbagai pertanyaan:
– Untuk
apa manusia mengenal Allah? Supaya manusia percaya kepadaNya,Mazmur 46:11; 100:3; Yeremia 31:34cf; 1 Korintus 8:4.
– Untuk
apa manusia mengenal pribadi Allah? Supaya manusia memahami agungnya nilai
penciptaan baginya (gambar Allah), Kejadian 1:26-27; dan nilai keselamatannya,
2 Korintus 3:18.
– Untuk
apa manusia mengenal keadaan dasar pribadi Allah? Supaya manusia mengenal
dirinya sendiri seperti Ayub, Ayub 39:37-38; 42:1-6.
– Untuk
apa manusia mengenal sifat-sifat pribadi Allah? Supaya manusia tahu ‘takut akan
Allah’, Ulangan 5:29; Ibrani 12:28cf.
“BAB IV:
NAMA DAN TRINITAS ALLAH”
1. Nama-nama
Allah.
Kitab Suci mewahyukan nama Allah
yang menunjukkan sifat-sifat Allah kepada kita. Allah telah menyatakan diriNya
dan namaNya melalui FirmanNya kepada manusia (Keluaran 6:3; 34:5-6). Barangsiapa yang mau menyembah
Allah harus menyebut nama Allah, dan harus merasa takut terhadap kekudusan nama
Allah (Ulangan 28:58;Kejadian 12:8; 2 Samuel 22:50). Manusia harus memuji nama
Allah dan memuliakan nama Allah (Mazmur 86:9). Mengapa? Karena nama Allah
identik dengan Pribadi Allah yang membela dan melindungi umatNya (Mazmur 20:1). Kalau kita berseru namaNya
maka Allah tidak akan meninggalkan umatNya. Allah mengasihi dan mengikat
diriNya dengan umatNya yang selalu berseru akan namaNya. (1 Samuel 12:22). Selanjutnya, Allah telah
memperkenalkan Nama-namaNya sebagai berikut:
1.1. ELOHIM.
Nama Elohim menyatakan ke-Maha
Kuasaan dari Allah. Ketika Allah menciptakan langit dan bumi, kemudian
menciptakan manusia maka Allah memakai nama Elohim. Elohim adalah nama dalam
bentuk jamak menunjukkan ke-Esa-an dari Allah yang Tritunggal. Nama Elohim-lah
yang dipakai Allah ketika menjadikan manusia menurut rupa dan gambar Allah (Kejadian 1:26). Walaupun Israel mengenal
Allah yang Tungal tetapi Perjanjian Lama telah juga mewahyukan bahwa
ke-jamak-an dari Allah telah diperkenalkan sejak pertama.
1.2. JEHOVAH.
Kata Jehovah berarti Tunggal. Itulah
nama dari Bapa yang memperkenalkan Diri kepada Israel. Jehovah berarti Allah
yang datang kepada umatNya dan mengadakan perjanjian dengan mereka Israel hanya
menerima Jehovah sebagai Allah yang Tunggal dan kepadaNya mereka berseru dan
menyembah. Kata Jehovah begitu sakral bagi umat Israel. Dengan nama Jehovah-lah
Allah memperkenalkan diri kepada Israel bahwa Dialah yang ada sejak dahulu,
sekarang dan selama-lamanya (Keluaran 3:13-14). Dalam memimpin Israel,
memelihara dan membela maka Allah menyatakan namaNya yang menunjukkan sifatNya
kepada umatNya:
1. Jehovah Rapha,
berarti bahwa Tuhanlah yang
menyembuhkan umatNya. Allah bertindak sebagai dokter yang Maha Kuasa ke atas
umatNya (Keluaran 15:26).
2. Jehovah Nissi,
berarti bahwa Tuhan adalah
Panji-panji Kemenangan Israel. Tuhanlah berperang ganti umatNya. Ketika mereka
berhadapan dengan laut kolsum, benar bahwa Tuhan telah menjadi Panji Kemenangan
Israel (Keluaran 17:8-15; 14:13-14).
3. Jehovah Shalom,
berarti bahwa Tuhan adalah Raja
Damai. Dialah yang memberi damai-sejahtera kepada umatNya. Sifat Allah ini
berlaku bukan hanya kepada Israel tetapi kepada umatNya masa kini. (Habakuk 6:24).
4. Jehovah Roi,
berarti bahwa Tuhanlah yang menjadi
Gembala kita. Ialah yang memimpin dan melindungi dan memberkati kita. Tuhan
sebagai Gembala dimanifestasikan dalam Tuhan Yesus Kristus sebagai Gembala yang
baik (Yohanes 10; Mazmur 23).
5. Jehovah Tsidkenu,
berarti bahwa Tuhanlah yang menjadi
Kebenaran UmatNya. Ialah yang mengampuni, membela dan membenarkan kita. (Yeremia 23:6). Manifestasi Jehovah sebagai
kebenaran dinyatakan di dalam Yesus Kristus Tuhan kita (Yohanes 14:6; Yohanes 16:13).
6. Jehovah Shammah,
berarti Tuhan ada dan hadir dengan
umatNya, Tuhan senantiasa menyertai kita dimanapun kita berada (Yehezkiel 48:35).
Banyak orang tidak memahami kekuatan
rohani apa yang ada kepada bangsa Israel sehingga mereka dapat bertahan melalui
penghancuran yang terjadi untuk melenyapkan bangsa ini. Dua kali mereka
terbuang untuk dilenyapkan tetapi selalu tetap bertahan dan eksis. Tidak
satupun bangsa di dunia yang dapat menandingi penderitaan pembinasaan seperti
yang dialami bangsa ini. Keyakinan atas ketujuh sifat Jehovah di atas-lah
menjadi rahasia yang menyebabkan mereka mampu bertahan sebagai bangsa.
Allah Israel bukanlah sebuah gagasan
dari satu agama manusia, melainkan Dia adalah Allah yang hidup yang bergerak
ditengah-tengah umatNya. Karena itu, sejarah bangsa ini merupakan sejarah
kerajaan Allah diatas muka bumi ini. Penggenapan Janji Allah diwujudkan melalui
kedatangan Yesus Kristus dilanjutkan kedatangan Roh Kudus. Ketujuh nama Allah
yang menunjukkan sifatNya yang menyertai orang percaya sekarang berlaku keatas
GerejaNya. Tuhan dengan segala sifatNya yang diwujudkan melalui namaNya
dinyatakan oleh Roh Kudus keatas orang percaya.
1.3. El-Elyon. Kata \”El\”
berarti \”Tuhan\”, Satu-satunya Maha Kuasa\” (Ulangan 32:4).
El-Elyon artinya Allah Maha Kuat,
Maha Berkuasa, Maha Agung, Dialah Allah Maha Penyelamat yang telah menolong
umatNya dengan ke-Maha KuasaanNya dari tangan musuh (Kejadian 14:18-20). Dialah Allah yang Maha
Kuasa yang mengasihi isi dunia dan memberikan AnakNya yang tunggal kepada isi
dunia untuk menyelamatkan isi dunia (Yohanes 3:16).
1.4. El-Shaddai. El-Shaddai,
berarti Allah yang mencukupi segala kebutuhan umatNya.
El-Shaddai bahwa Allah yang Maha
Kuasa akan mencukupkan kita. Dia berjanji akan menggenapi janjiNya dengan
sempurna. Allah Maha Kuasa selalu menggenapi janjiNya (Kejadian 17:1).
1.5. El-Olam. Berarti Allah
yang kekal.
Dialah yang mengatur kehidupan
manusia dan memberi hidup yang kekal kepada manusia. El-Olam bahwa Allah yang
kekal selalu memegang teguh semua janjiNya (1 Timotius 1:17).
1.6. Adonai. Adonai, berarti
Tuhan, yang menguasai, memerintah alam semesta dan memerintah umatNya (Keluaran 23:17).
Dia menuntut ketaatan dan kesetiaan
umatNya. Ketika Yesus bangkit dari antara orang mati, maka Allah menjadikan Dia
Tuhan. Yesus Kristus menjadi \”Adonai\”, orang percaya harus taat kepadaNya.
Karena Dialah Adonai kita (Kisah 2:36; Filipi 2:9).
1.7. Abba = Bapa. Allah Israel
juga menjadi Bapa kepada umatNya.
Ketika Roh Kudus turun ke atas orang
percaya, maka Roh Kudus dari dalam hati berseru: \”Bapa, ya Abba. . .\”.
Hubungan orang percaya dengan Allah dikiaskan seperti hubungan Bapa dan
Anaknya. Inilah pekerjaan Roh Kudus yang ajaib, bahwa setiap anak Tuhan dapat
menyebut Allah \”Ya Abba, Ya Bapa\” (Roma 8:14; Galatia 4:6).
2. Beberapa
Faham dan Pandangan yang salah terhadap Allah.
Supaya lebih memahami Nama dan Sifat
Allah yang terkandung dalam Nama itu sehingga orang percaya berhasil mendapat
kekuatan di dalam Nama itu. Pembentukan wawasan ini membutuhkan pengetahuan
terhadap faham-faham yang jelas menolak ajaran Alkitab tentang Allah.
2.1 Agnostisisme.
Kata ini dalam bahasa Grika berarti
\”Tidak tahu\”. Suatu faham yang berdasarkan kekuatan untuk mengetahui dari
manusia. Beranggapan bahwa tidak ada seorangpun yang mampu untuk tahu tentang
Allah. Manusia adalah mahluk yang terbatas adalah mustahil untuk dapat
mengetahui tentang Allah yang tidak terbatas. Aliran ini menutup pintu untuk
mengenal Allah dengan dalih bahwa manusia adalah mahluk yang terbatas.
Aliran ini berusaha untuk membangun
sifat skeptisme terhadap iman Kristen. Selalu berusaha untuk dengan
keterbatasan berpikir supaya menerbitkan keraguan total terhadap Firman Allah.
Karena aliran ini sesungghnya menolak Alkitab yang adalah Firman Allah.
Mereka tidak pernah kenal Roh Kudus
yang membuat orang percaya mampu dan sanggup mengenal Allah. Roh Kuduslah yang
sesungguhnya yang telah menolong orang percaya dapat mengenal Allah. (1 Korintus 2:11-12;Yohanes 16:13).
2.2 Panteisme.
Faham ini percaya bahwa Allah berada
di semua keberadaan di alam semesta. Faham ini mempersatukan semua alam semesta
dan seluruh isinya dengan Allah. Semua yang ada adalah Allah, bahwa Allah
menyatu dengan semua yang ada. Panteisme mempersatukan Allah dengan alam
semesta ini dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Alkitab dengan jelas
memperbedakan antara alam semesta sebagai ciptaan dan Allah sebagai pencipta. (Roma 1:19-25).
2.3 Materialisme.
Materialisme adalah suatu faham yang
melihat bahwa segala sesuatu adalah \”materi\” atau benda. Manusia tidak lagi
dilihat sebagai mahluk ciptaan Allah yang mempunyai jiwa dan roh atau sebagai
mahluk yang mempunyai kehidupan rohani. Semuanya diukur sebagai materi karena
mempunyai tubuh. Sehingga manusia itu berfaedah selagi dia itu hidup dan kalau
telah tua dan tidak lagi berbuat sesuatu manusia menjadi tidak berguna.
Manusia bukan mahluk rohani yang harus mempertanggung-jawabkan kehidupan ini.
Manusia disamakan dengan benda saja sehingga tidak perlu bertanggung-jawab
sesama manusia. Faham ini menjadikan manusia sama saja dengan binatang. Hanya
lebih tinggi sedikit sebab dapat berpikir.
Faham materialisme menolak
keberadaan Allah melalui filsafatnya. Manusia tidak perlu menyembah Allah
karena manusia disamakan saja dengan benda-benda mati. Manusia harus bekerja
sekeras-kerasnya supaya nilai materi bisa melebihi manusia lainnya. (1 Yohanes 2:15-17).
2.4 Ateisme.
Suatu faham yang dengan
terang-terangan berkata bahwa Allah itu tidak ada. Bahwa Allah itu hanyalah
hasil rekayasa dari keinginan manusia itu sendiri. Biasanya, faham Ateisme merupakan
hasil dari faham-faham lain yang tidak percaya kepada Tuhan dan akhirnya
berkata bahwa Tuhan itu tidak ada.
2.5 Humanisme.
Humanisme ialah suatu faham yang
melihat diri manusia sebagai jawaban atas segala sesuatu. Hal yang baik dan
buruk bukanlah yang dikatakan Firman Allah tetapi menurut pendapat diri
sendiri. Segala sesuatu menunjuk kepada diri manusia. Diri manusia menjadi
sentral keberadaan. Manusia telah menjadi allah sendiri atas hidup dan memberi
keputusan untuk apa yang dianggap baik.
Setanlah yang telah membalikkan
kebenaran dari menyembah kepada Allah dan sekarang menyembah kepada diri
sendiri. Keputusan hasil berpikir manusialah yang harus diagungkan. Bukan
Firman Allah yang dikatakan Allah dalam Alkitab. Hal itu bermula ketika Adam
dan Hawa melawan Allah akibat tipuan setan. Setan setelah membalikkan manusia
dari menyembah Allah dan taat kepada semua Firman Allah. Hawa telah mengambil
dan makan buah terlarang berdasarkan pertimbangan sendiri karena tipuan setan.
Semua telah berpusat kepada diri sendiri, bahwa manusia bukan lagi mahluk
ciptaan yang menyembah Allah. Manusia telah berubah menjadi Allah bagi dirinya
sendiri (Kejadian 3:3-6; 2 Timotius 3:1-5).
2.6 Liberalisme.
Ciri Liberalisme yaitu, menolak
segala sesuatu yang tidak diterima oleh akal budi manusia. Akal untuk berpikir
menjadi kebenaran manusia. Dari akal manusia harus mengambil keputusan sehingga
semua sifat Allah yang supranatural ditolak oleh manusia. Liberalisme, menolak
Alkitab sebagai wahyu Allah dan semua karya Kristus untuk menyelamatkan manusia
yaitu, kematian dan kebangkitanNya. Semua bertitik tolak dari akal manusia.
Mereka tidak mempunyai iman sama sekali sebab yang ada adalah hasil berpikir.
Dari kata \”Liberal\” maka kita maklum bahwa tidak ada yang dapat mengikat
mereka. Mereka bebas menafsir dan tidak tunduk kepada Alkitab yang adalah Wahyu
Allah.
2.7 Deisme.
Semua faham yang percaya bahwa Tuhan
yang menjadikan segala sesuatu di alam semesta. Namun, setelah Allah
menciptakan segala sesuatu maka Sang Pencipta mengundurkan diri dan keluar dari
ciptaanNya. Allah menyerahkan segala sesuatu kepada hukum-hukum yang telah
ditetapkanNya.
Karena itu, menjadi pola faham
teologi Deisme untuk mempelajari tentang Allah kepada alam semesta yang dapat
dimengerti oleh otak manusia. Dikarenakan, bahwa Allah telah mengundurkan diriNya
dari semua ciptaanNya sudah tentu tidak akan ada wahyu, ataupun mujizat-mujizat
lagi. Faham ini mirip dengan \”Determinisme\” bahwa segala sesuatu telah
ditentukan untuk bergerak ke suatu keadaan tertentu yang lebih baik dari yang
ada.
Deisme menolak semua
penyataan-penyataan Allah dalam Alkitab yang dapat mempengaruhi kehidupan orang
percaya. Allah benar-benar telah keluar dari ciptaanNya dan telah meninggalkan
segalanya bergerak secara alamiah. Secara jujur faham ini sama dengan pemikiran
seorang filsuf abad ke 18, bahwa aku berpikir bahwa Tuhan sudah mati. Alkitab
menyatakan bahwa Tuhan tetap ada dan menyertai kita untuk selama-lamanya.
Bahkan Dia sanggup mengerjakan mujizat-mujizat sebagai bukti kehadiranNya dalam
pelayanan GerejaNya (Matius 28).
3. Allah
Tritunggal.
Kata Trinitas atau Tritunggal tentu
saja tidak terdapat dalam Alkitab. Ke-Tritunggal-an dari Allah adalah satu
fakta keberadaan Allah. Allah sendirilah yang datang mengungkapkan tentang
diriNya kepada manusia. Memang doktrin tentang Tritunggal merupakan doktrin
yang sangat sulit difahami. Hanya konsep Tritunggal dapat diterima melalui
penelitian Alkitab. Baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru keduanya memuat
doktrin Tritunggal yang dapat difahami. Hanya harus direnungkan bahwa siapakah
yang dapat mengerti tentang kedalaman Pribadi Allah secara tuntas. Semua yang
terbatas tidak akan mampu untuk merenung yang tidak terbatas. Tetapi bukankah
agama Kristen berjalan dengan iman dan bukan semata-mata dengan pengertian.
Demikianlah ajaran Tritunggal bukanlah ajaran manusia, sebab Allah sendiri yang
telah mengungkapkan tentang diriNya, melalui bukti-bukti Firman Allah. Ajaran
Tritunggal adalah ajaran kitab suci dan merupakan ajaran yang Alkitabiah.
3.1. Tritunggal dalam
Perjanjian Lama.
Perjanjian Lama menekankan ke-Esa-an
ke-Allah-an. Ajaran tersebut sebagai dampak langsung dari kepercayaan Israel
yang Monotheisme, yaitu penekanan ke-Esa-an Allah diperhadapkan dengan
bangsa-bangsa lain yang Polytheisme atau menyembah banyak allah. Ulangan 6:4 \”Dengarlah hai orang Israel
Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu Esa\”. Mengandung pengertian bahwa Tuhan kita
bersifat ke-Esa-an, ada konsep pengertian lebih dari satu pribadi tersirat di
dalamnya. Namun, tidak boleh disamakan dengan bangsa kafir yang jelas menyembah
banyak dewa atau allah-allah. Perhatikan juga ayat-ayat seperti, Keluaran 20:3; Ulangan 4:35; Yesaya 45:14.
Memang Allah dengan penuh hikmat
menyiratkan ke-jamak-an diriNya namun mengungkapkan diri sebagai \”Allah yang
esa\”, supaya tidak boleh disamakan dengan bangsa kafir yang menyembah banyak
allah. Identitas Allah Israel harus terpelihara untuk membedakan Allah Israel
dengan penyembahan Polytheisme yang berlaku pada waktu itu.
1. Kata-kata Bentuk Jamak.
Kata Elohim ialah nama untuk Allah
dalam bentuk jamak. Ketika Allah memulai menata alam semesta dan isinya.
Dikatakan pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi (Kejadian 1:1-2). Memakai kata \”Elohim\”
yaitu nama Allah dalam bentuk jamak. Begitu pula ketika Allah menciptakan
manusia dikatakan, . . .Baiklah Kita menjadikan . . . Kata Kita dipakai sebagai
kata ganti Allah. Menunjuk bahwa Allah yang Esa tetapi mempunyai Pribadi lebih
dari satu atau bentuk jamak (Kejadian 1:26; 11:7; Yesaya 6:8).
Ketika Tuhan datang kepada Abraham dan menyatakan diriNya, Abraham berkata \”ya Tuhan Allah (Ibrani = Adonai Jehovah). Kata Adonai adalah bentuk jamak dari kata Adon. Kata-kata bentuk jamak mengisyaratkan bahwa Allah mempunyai lebih dari satu Pribadi (Kejadian 15:1-2).
Ketika Tuhan datang kepada Abraham dan menyatakan diriNya, Abraham berkata \”ya Tuhan Allah (Ibrani = Adonai Jehovah). Kata Adonai adalah bentuk jamak dari kata Adon. Kata-kata bentuk jamak mengisyaratkan bahwa Allah mempunyai lebih dari satu Pribadi (Kejadian 15:1-2).
2. Allah datang dalam wujud
Theopani.
Dalam Kejadian 16:7-13; 18:1-21;
19:1-28, Allah Tritunggal datang dalam wujud malaikat-malaikat. Jelas, bahwa
itu bukan malaikat-malaikat biasa sebab mereka dipanggil tuan oleh Abraham dan
disembah. Malaikat-malaikat itu dikatakan Tuhan menyampaikan berita tentang
kelahiran Ishak kepada Abraham. Dalam Perjanjian Lama sering Allah datang
mengunjungi para nabi dalam bentu malaikat. Jelaslah bahwa kedatangan
malaikat-malaikat biasa tetapi perkunjungan Tritunggal Allah kepada Abraham.
3. Pribadi-pribadi yang
berbeda. Beberapa ayat Firman Allah sangat jelas menyebutkan tentang adanya
pribadi-pribadi yang berbeda dalam ke-Allah-an sebagai contoh:
(1). Adanya perbedaan Tuhan di
dalam ayat Firman Allah. \”Tuhan menurunkan hujan belerang yang berasal dari
Tuhan\”, Kejadian 19:24;Hosea 1:7.
(2). Penyebutan tentang penebus
yang dibedakan dari Tuhan (Yesaya 59:20).
(3). Roh sebagai pribadi yang
aktif dibedakan dari Tuhan. (Yesaya 48:16;63:9-10).
Doktrin tentang Allah Tritunggal
yang belum terlalu jelas dalam Perjanjian Lama namun itu merupakan benih yang
dapat kehidupannya secara jelas dalam Perjanjian Baru. Kekuatan doktrin
Tritunggal dalam Perjanjian Baru tidak dapat dipertahankan tanpa benih yang
telah diungkapkan dalam Perjanjian Baru.
3.2. Tritunggal dalam
Perjanjian Baru.
Ajaran Trinitas dalam Perjanjian
Lama semakin jelas dalam Perjanjian Baru. Kalau dalam Perjanjian Lama masalah
Allah yang berpribadi lebih dari satu hanyalah tampak dari bukti nama-nama yang
dipakai oleh Allah dan penampakan Allah dalam wujud Malaikat. Tetapi dalam
Perjanjian Baru Trinitas telah menyatakan diri. Yesus Kristus telah disembah
sebagai Allah, demikian pula Roh Kudus. Dalam Perjanjian Baru ketika oknum
Allah: Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus telah menyatakan diri secara terbuka
lengkap dengan fungsi Ilahi yang berbeda.
Walaupun dalam Perjanjian Baru
ketiga oknum Allah telah tampak dengan jelas, namun penekanan ke-Esa-an
sepanjang Perjanjian Baru juga menjadi bukti bahwa Allah dalam perwujudanNya
selalu dalam ke-Esa-an. Ayat-ayat Firman Allah yang menekankan bahwa hanya ada
satu Allah yaitu: 1 Korintus 8:4-6; Efesus 4:3-6; Yakub 2:19; Yohanes 10:30; 17:11; Galatia 3:20, dan seterusnya.
Bukti Ketiga Oknum adalah Allah.
(1) Bapa diakui sebagai Allah
sebagai kelanjutan Jehovah dalam Perjanjian Lama.
Hal tersebut jelas tidak akan
terjadi perbedaan, Yohanes 6:27; 1 Petrus 1:2; Lukas 2:49; Markus 8:38.
(2) Yesus adalah Allah sebagaimana
ketiga sifat yang dimiliki oleh Bapa sebagai Allah, juga ketiga sifat itu
dimiliki Yesus Kristus.
Yesus Maha Tahu (Matius 9:24), Ia Maha Kuasa (Matius 28:18), Ia Maha Hadir (Matius 28:20). Yesus melakukan pekerjaan
yang dilakukan Bapa, yaitu bahwa Dia mengampuni orang berdosa (Markus 2:1-12), Dia membangkitkan orang
mati (Yohanes 12:9) selanjutnya bahwa Dia yang
menciptakan segala sesuatu (Yohanes 1:3), menghakimi umat manusia (Yohanes 5:27). Dia dipanggil Tuhan oleh
murid-muridNya (Yohanes 13:13). Para malaikat menyaksikan
bahwa Yesus adalah Tuhan (Lukas 2:11). Sebagai Firman maka Dia
dikatakan \”adalah\” Allah (Yohanes 1:1). Yohanes tidak mempunyai kata
lain selain menyatakan kebenaran bahwa Dia berbeda dengan Bapa dan Dia adalah
Allah (Yohanes 1:1, 14).
(3) Roh Kudus diakui sebagai Allah,
Roh Kudus sebagai Allah dan memiliki sifat-sifat yang ada kepada Allah.
Dia Maha Tahu (1 Korintus 2:10), Dia juga Maha Hadir (1 Korintus 6:19), Roh juga Maha Kuasa
memberi kuasa kepada GerejaNya (Kisah 1:8). Roh Kudus melahirkan kembali
manusia (Yohanes 3:5-6, 8). Pekerjaan melahirkan kembali hanya
dilakukan oleh Allah.
Bukti ke-Esa-an dan kepadanan ketiga
oknum Allah dalam Tritunggal kelihatan dalam ayat Matius 28:19, ketika Yesus memberi amanah
agung kepada murid-muridNya untuk membaptis dalam nama Bapa, Anak dan Roh
Kudus. Dan ketiga gelar tersebut dipersatukan dengan lengkap menurut nama
ke-Allah-an itu sendiri yaitu: Tuhan Yesus Kristus, gelar Bapa, Anak dan Roh
Kudus dimateraikan dengan nama mereka masing-masing: Nama Bapa ialah Tuhan,
Nama Anak ialah Yesus, Nama Roh Kudus ialah Kristus, Dia digelar sebagai yang
dinamai oleh Roh Kudus. Karena itu, nama lengkap Tritunggal – Bapa, Anak dan
Roh Kudus yaitu: Tuhan Yesus Kristus (Kisah 2:38; 10:48; 19:5) karena itu, alangkah sempurnanya
apabila kita menyebut Tritunggal Allah yaitu: Bapa, Anak dan Roh Kudus untuk
langsung memateraikan dengan Nama mereka: Tuhan Yesus Kristus.
Gambaran
Trinitas Allah
Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus
memiliki kualitas ke-Allah-an yang setara. Allah Bapa tidak lebih dari Anak
demikian pula bahwa Anak tidak lebih dari Roh Kudus. Namun, dalam status
kedudukan lembaga surgawi, kita harus mengetahui bahwa Bapa lebih tinggi dari Anak
dan Anak lebih tinggi dari Roh Kudus. Bukti Alkitab bahwa Yesus Kristus sebagai
Anak selalu taat dan melakukan kehendak Bapa. Begitu pula seterusnya bahwa Roh
Kudus taat kepada Yesus Kristus (Yohanes 5:37; 12:49; 14:28; Yohanes 16:14-15;Yohanes 16:7).
Beberapa ciri di alam semesta yang
dapat dilukiskan untuk menjadi contoh pengertian Tritunggal yaitu: Air yang
memiliki unsur kimia, zat padat, cair dan uap sekaligus. Air dapat menjadi es,
dan cair serta uap sekaligus dengan berkeseimbangan. Suatu gambaran yang baik
untuk menerangkan Tritunggal.
Manusia terdiri dari tubuh, jiwa dan
roh, juga dalam waktu bersamaan secara seimbang bisa menjadi percontohan dari
Tritunggal Allah begitu pula matahari yang terdiri dari matahari, sinarnya
serta kekuatannya bisa menjadi ilustrasi tentang Tritunggal. Tetapi semuanya
tetap tidak dapat menjadi ilustrasi yang secara tuntas dapat menggambarkan
misteri Tritunggal. Bagaimanapun Tritunggal tetap merupakan satu misteri,
karena kita sedang berbicara tentang sesuatu yang maha kuasa, maha pribadi yang
menciptakan segala sesuatu cukup dengan berfirman. Tritunggal lebih diterima
bila dipelajari dan diyakini dengan iman.
[END] @2003-2004.(Dari buku yang diterbitkan oleh Departemen
Pendidikan Majelis Pusat GPdI dan diperbanyak oleh Departemen Literatur dan
Media Massa).”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar