Jumat, Februari 07, 2020

FILSAFAT TEOLOGI


Image result for filsafat teologi KRISTEN

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia memiliki kemampuan untuk mempertimbangkan baik atau buruk dan benar atau salah, yang disebut “nalar”. Nalar ini berfungsi untuk menguji segala sesuatu yang manusia lihat dan ketahui, untuk kepentingan manusia sendiri. Selain nalar manusia juga memiliki kemampuan untuk meyakini adanya Tuhan, yang disebut sebagai “iman”. Iman ini berfungsi untuk mempercayai kekuasaan adikodrati Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia sendiri. Nalar berasal dari logika-logika dalam otak; iman berasal dari kepercayaan kepada Tuhan.
Dari sifat nalar dan iman ini banyak filsuf yang mencoba menghubungkan iman dengan nalar, ada juga yang memisahkan iman dengan nalar. Banyak sekali perdebatan yang tidak kunjung selesai antara dua kubu ini. Untuk itu karya ilmiah ini ditujukan untuk memahami apa hubungan antara iman dengan nalar. Karya ilmiah ini memiliki sumber utama berasal dari buku “Filsafat dari Perspektif Kristiani” , Norman Geisler dan Paul D. Feinberg, Malang: Gandum Mas, 2002, 275-294,[1] juga akan disertai dengan beberapa referensi buku lainnya yang akan menambah fakta dan data untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan iman dengan nalar. Tak ada gading yang tak retak, penulis meminta kritik untuk karya ilmiah ini agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi nanti.

BAB II
RINGKASAN BACAAN

Hubungan Antara Iman dengan Nalar

Istilah penyataan dan penalaran, “Penyataan” adalah suatu penyingkapan secara adikodrati oleh Allah mengenai kebenaran yang tidak mungkin diketahui oleh kekuatan nalar manusia tanpa dibantu. Sedangkan “Nalar” adalah kemampuan alami dari pikiran manusia untuk mengetahui kebenaran.
Beberapa filsuf mengklaim bahwa penyataan saja dianggap satu sumber dari pengetahuan manusia. Menurut Soren Kierkegaard manusia sama sekali tidak mampu mengetahui suatu kebenaran ilahi. Beberapa ketidakmampuan nalar manusia yaitu keadaan manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Sifat dosa manusia membuatnya tidak mungkin mengetahui kebenaran tentang satu Allah yang bersifat paradoksal atau kelihatannya bertentangan dengan kita. Transendensi Allah, menurutnya Kierkegaard menyatakan bahwa kebenaran Allah sendiri bersifat di luar nalar yang sama sekali tidak dapat menjangkau melampaui dirinya sampai kepada Allah. Nalar tidak mempunyai peranan positif, menurut Kierkegaard bahwa kebenaran Kristiani hanya dapat diketahui melalui lompatan iman artinya tindakan yang benar-benar berdasarkan kehendak untuk menghadapi rintangan-rintangan rasional yang membutakan. Usaha-usaha pembuktian merupakan penghinaan kepada Allah artinya sebuah upaya rasional untuk membuktikan keberadaan Allah merupakan penghinaan kepada Allah. Bukti-bukti sejarah tidak berguna karena orang sama sekali tidak bisa mutlak memastikan bahwa peristiwa-peristiwa ini benar-benar terjadi.
Menurut Barth, manusia yang jatuh dalam dosa tidak mampu untuk mengenal Allah yang Mahakudus. Namun apa yang tidak bisa nalar manusia lakukan untuk menjangkau Allah(dari bawah ke atas), Allah telah melakukannya melalui penyataan-Nya (dari atas ke bawah). Alkitab adalah alat Allah berbicara, Barth juga menolak penyataan alamiah menjelaskan bahwa Allah tidak berbicara kepada kita melalui alam sebab manusia telah jatuh dalam dosa. Dosa ini menyebabkan kesalahpahaman manusia tentang Allah. Nalar manusia tidak mempunyai kapasitas baik aktif maupun pasif untuk menerima penyataan ilahi. Pada ujung yang berlawanan dari spektrum iman dan nalar adalah kaum rasionalis yang menyatakan bahwa semua kebenaran dapat diketahui melalui nalar manusia.
Immanuel Kant adalah pewaris tradisi Lutheran yang taat dan saleh. Kant mengklaim bahwa ia mengkritik nalar spekulatif (teoritis) untuk memberi ruang bagi iman. Kemudian nalar mengharuskan kita untuk hidup “seolah-olah ada satu Allah”, artinya nalar mengharuskan kita menganggap bahwa Alah ada dengan maksud agar kewajiban kita dalam hidup ini masuk akal. Nalar juga mengharuskan kita untuk hidup, seolah-olah berbagai mukjizat tidak terjadi.
Benedict Spinoza menganggap bahwa semua kebenaran hanya diketahui melalui dalil-dalil yang membuktikan diri sendiri. Rasional geometris menarik kesimpulan semua kebenaran penting tentang Allah, manusia dan dunia. Menurut Spinoza, secara rasional adalah perlu untuk menyimpulkan bahwa hanya ada satu substansi dalam alam semesta, sedangkan segala sesuatu termasuk semua manusia hanya merupakan mode-mode atau momen-momen yang semacam panteisme. Spinoza tidak mempercayai persepsi-persepsi inderawi karena menurutnya bukan sumber kebenaran. Kebenaran hanya ada pada ide-ide, yang hanya diketahui melalui intuisi rasional.

Nalar melebihi penyataan

Pandangan ini dikaitkan beberapa Bapak Kristen yang mula-mula, seperti Yustinus Martir dan Klemen dari Aleksandria. Yustinus Martir percaya pada penyataan ilahi, tetapi selain Alkitab, dia berpendapat bahwa “nalar” ditanamkan pada manusia dari bangsa mana pun. Klemen dari Aleksandria bahkan lebih memuji-muji nalar manusia. Salah satunya adalah karyanya Stromata, menulis sebelum kedatangan Tuhan, filsafat diperlukan bagi orang Yunani untuk mengetahui kebenaran. Sebab filsafat adalah guru untuk membawa “pikiran helenis” seperti hukum orang Ibrani kepada Kristus. Klemen tidak hanya mengagung-agungkan nalar manusia tetapi kadang menyamakannya dengan penyataan ilahi.
Penelitian Alkitab dari segi sejarah dan sastra secara modern
Contoh, yang menganut pandangan nalar melebihi penyataan ialah yang dikenal sebagai “kaum liberal”. Gerakan ini dipengaruhi oleh Spinoza, Kant dan Hegel, yang dengan nalar manusiawi menyimpulkan bahwa Alkitab sebagian atau seluruhnya bukanlah penyataan dari Allah. berbeda dengan pandangan historis ortodoks bahwa Alkitab adalah Firman Allah, sedangkan Liberal menganggap Alkitab hanyalah memuat Firman Allah. Sedangkan kelompok lain mengagung-agungkan nalar melebihi penyataan yakni penganut Deisme dari abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas. Jadi orang-orang seperti Hobert Cherbuy (1583-1648), Charles Blount (1654-1693) dan John Toland (1670-1722), menganggap rendah atau meniadakan unsur-unsur adikodrati dari Alkitab.

Penyataan Melebihi Nalar

Lawan dari kaum semi-rasionalis yang mengagung-agungkan nalar melebihi penyataan adalah kaum revelasionis keras, yang mengagung-agungkan nalar. Salah satunya adalah bapa gereja mula-mula, Tertullianus yang dikenal sebagai pendukung “ penyataan semata”. Dengan mengungkapkan perlunya menggunakan “petunjuk nalar”. Dan menentang juga orang-orang yang puas dengan berbagai tradisi yang mereka percayai. Dan juga Tertullianus menganggap bahwa filsafat tidak berguna, melainkan menganggapnya sama sekali tidak penting bagi orang percaya. Satu-satunya yang benar adalah penyataan. Cornelius Van Til, pendapatnya sering disebut presuppositionalism karena pendapat itu sangat menekankan perlunya orang menganggap pasti kebenaran penyataan agar nalar bisa berfungsi. Nalar bergantung secara radikal dan aktual pada penyataan.

Penyataan dan Nalar

Santo Agustinus (345-430), menjelaskan hubungan dasar antara nalar dan penyataan adalah bahwa orang Kristen berpikir berusaha menafsirkan hal yang layak dipercaya secara dapat dimengerti. Menurut kata-kata Agustinus, “iman adalah langkah pemahaman”. Tanpa iman terlebih dahulu orang tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang utuh mengenai kebenaran Allah. Iman menuntun orang menyelami pengetahuan. Oleh sebab itu Agustinus  menganggap bahwa iman lebih dahulu dari pada nalar. Sedangkan Thomas Aquinas, menganggap dirinya sebagai pengikut setia Agustinus. Banyak filsuf berpendapat bahwa perbedaan mereka adalah Aquinas mengambil kebenaran Kristen dari Agustinus.

Kesimpulan

Pada hakikatnya, ada satu kesepakatan penting di antara orang-orang Kristen mengenai hubungan antara iman dan nalar. Salah satunya adalah kebanyakan orang percaya menafsirkan hal yang layak dipercaya, kemudian bernalar mengenai iman mereka, meskipun mereka tidak mengaku bernalar itu apa.

Kemustahilan dari pemisah secara total

orang-orang percaya yang secara keras menganut pandangan “penyataan semata” dengan memberikan argumen-argumen atau alasan-alasan jenis tertentu yang mendukungnya. Setiap rasionalisme semata terhalang oleh fakta bahwa segala sesuatu tidak dapat dibuktikan melainkan sesuatu dianggap sebagai pasti atau dipercaya.
Penganut penyataan semata harus mengakui membedakan penyataan palsu dengan penyataan asli. Contohnya dalam Alkitab memerintahkan orang percaya untuk “menguji roh-roh dan kewaspadaan terhadap nabi-nabi palsu. Jadi pembedaan sangat penting antara pemakaian nalar apakah dalam Alkitab untuk mengetahui sesuatu penyataan Allah dan dengan pemakaian rasionalisme untuk menentukan apa dalam Alkitab yang tidak logis. Karena mempercayai segala sesuatu dapat membabi buta dan menganggap segala sesuatu diterima akal.

Kerancuan Mendasar: “Kepercayaan Kepada” dan “Kepercayaan Bahwa”

Kalau diperhatikan banyak perdebatan di antara orang-orang Kristen mengenai pandangan mana yang benar menyangkut iman dan nalar. Ada orang-orang yang menekankan “iman kepada”, tidak memerlukan nalar untuk mendukungnya. Di sisi lain berbicara tentang “iman bahwa”, Allah ada.  secara logika tampaknya “kepercayaan bahwa” mendahului “kepercayaan kepada”. Tentu saja tidak ada orang bernalar yang akan “percaya kepada” kalau tidak memiliki alasan untuk “percaya bahwa” memang demikian.

Epistemologi dan Ontologi

Memiliki perbedaan cara mengetahui realitas epistemologi dan realitas ontologi. Realitas ontologi yakni bahwa Allah adalah dasar dari segala kebenaran, sedangkan epistemologi harus mulai dari “bahwa ke atas” dan menemukan apakah Allah sungguh-sungguh ada atau tidak. Jadi menurut epistemologi ini adalah nalar lebih dahulu dari pada penyataan, karena nalar digunakan untuk evaluasi apakah Alkitab sungguh-sungguh  suatu penyataan atau bukan.
Ada kebenaran tertentu pada semua pandangan pokok tentang nalar dan penyataan itu:
1.    “Nalar melebihi penyataan” benar secara epistemologi karena nalar lebih dahulu dari penyataan. Penyataan diduga harus diuji oleh nalar.
2.    “Penyataan melebihi nalar” benar menurut ontologis. Allah menciptakan nalar dan nalar harus menjadi hamba-Nya bukan tuan-Nya.
3.    “Penyataan semata” benar dalam pengertian ontologis karena semua kebenaran datang dari Allah.
4.    “Nalar semata” memiliki kebenaran tertentu, sebab secara epistemologi nalar harus menilai apakah penyataan itu berasal dari Allah.
5.    “Penyataan dan nalar” benar secara karena menjelaskan perannya masing-masing dan juga menunjukkan hubungan mereka satu dengan yang lain. orang harus bernalar sesuai penyataan, jika tidak maka dia memiliki iman yang tidak masuk akal. Demikian juga nalar tidak mempunyai pedoman tanpa penyataan dan ragu-ragu dalam kesalahan.

Referensi Lain

Descartes

Dalam hal menalar Descartes memiliki prinsip tidak menerima dan menganggap benar yang tidak diketahuinya dengan jelas bahwa memang benar demikian.[2] Menurut Descartes tidak ada yang tidak dapat dimengerti dan segala sesuatu dapat dimengerti dengan logika deduksi yang benar.[3] Dari pemikiran ini lahirlah kesangsian Cartesian, yaitu pertimbangan falsafi serius akan segala sesuatu. Dari sini Descartes meragukan pikirannya yang selama ini hanyalah khayalan dan impian semata. Maka satu-satunya yang tidak Descartes ragukan adalah bahwa Descartes ragu-ragu. Pemikiran ini melahirkan aksioma yang terkenal: cogito ergo sum. Karena ketika adanya keragu-raguan dan sedang berpikir berarti Descartes harus ada.[4]
Descartes menggunakan logika ini kepada eksistensi Allah. Descartes berpikir bahwa adanya makhluk yang terbatas menyatakan secara tidak langsung adanya keberadaan yang tidak terbatas.[5] Ide tentang adanya Tuhan merupakan bukti dari eksistensi Tuhan. Sehingga ketika Tuhan itu sempurna, tidak mungkin Tuhan akan memperdaya manusia memiliki pemikiran tidak jelas dan tidak benar tentang eksistensi Tuhan itu sendiri.[6] Allah dihampiri sebagai Deus ex machina, yang menjamin sah pemikiran manusia tentang dunia.[7]

Platinga

Ada argumen ontologis dan akar perdebatan epistemologi religius tentang adanya bukti atau kurangnya bukti bagi keyakinan kepada Allah. Apa yang dianggap rasional, paling tidak dalam arti rasional tersebut, tergantung pada jenis metafisik dan pendirian religius apa yang diadopsi; tergantung pada jenis keberadaan macam apakah manusia itu, dan tergantung pada jenis keyakinan yang bagaimana yang akan dihasilkan oleh kemampuan berpikir keyakinan tersebut.[8] Jadi pandangan seseorang terhadap apa itu manusia memengaruhi seseorang tersebut untuk berpendapat bahwa keyakinan terhadap Allah itu rasional atau irasional. Bagi yang meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan maka eksistensi Tuhan itu rasional, bagi yang meyakini bahwa manusia adalah ciptaan alam dan evolusi maka eksistensi Tuhan itu adalah ilusi dan irasional.



BAB III
TANGGAPAN KELOMPOK

Tanggapan kepada pernyataan Soren Kierkegaard: Kelompok ini tidak setuju dengan pandangan ini. Alasannya adalah karena pernyataan Soren tidak konsisten. Pada satu sisi Soren mengatakan bahwa karena dosa manusia tidak mengerti kebenaran ilahi, padalah pada saat itu juga Soren sedang mengerti suatu kebenaran ilahi.
Kelompok ini juga tidak setuju kepada pernyataan Soren bahwa nalar tidak mempunyai peranan positif terhadap kebenaran ilahi. Kelompok ini berpandangan bahwa nalar adalah salah satu pemberian dari Tuhan untuk membantu iman. Nalar berfungsi sebagai penguji iman yang benar. Tanpa adanya nalar, manusia tidak dapat membedakan iman yang benar dan yang palsu. Nalar yang diberi Tuhan untuk mengenal Tuhan tidak mungkin hanya memiliki fungsi untuk menghujat Allah.
Tanggapan kepada Barth: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Barth bahwa manusia tidak dapat mengenal Allah dari alam. Padahal ketika kita yakin bahwa Allah itu menciptakan alam, maka ketika kita melihat alam kita mengerti tentang kebesaran Tuhan dalam menciptakan alam.
Tanggapan kepada Kant: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Kant bahwa nalar harus dipaksa untuk percaya kepada Allah hanya untuk sebatas mempertahankan moralitas. Kant hanya memilih apa yang diinginkannya tanpa peduli dengan kekuatan adikodrati Allah. Hal ini menyebabkan Kant tidak konsisten dan cenderung munafik.
Tanggapan kepada Spinoza: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Spinoza bahwa tidak ada Allah dan bahwa alam semesta ini adalah satu substansi. Kelompok ini menolak karena moralitas telah ada jauh sebelum Spinoza. Pernyataan Spinoza tidak dapat menghilangkan dampak kejahatan di dunia ini. Jika Spinoza menerima segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, maka Spinoza tidak konsisten karena menolak mukjizat yang empiris di dunia ini.
Tanggapan kepada Nalar Melebihi Penyataan: Kelompok ini setuju dengan pendapat bahwa nalar ditanamkan Allah pada semua manusia, sehingga nalar itu juga membantu manusia mengenal Allah. Tetapi kelompok tidak setuju dengan pendapat kelompok liberal yang mengatakan bahwa kebenaran dalam Alkitab yang tidak sesuai dengan nalar harus dihilangkan, karena memang banyak hal-hal adikodrati dan yang tidak masuk akal terjadi di Alkitab.
Tanggapan kepada Penyataan Melebihi Nalar: Kelompok ini setuju dengan bagian di mana bahwa nalar sebagai hamba dari penyataan atau pembela iman. Kelompok ini setuju juga terhadap perlunya orang menganggap pasti kebenaran penyataan agar nalar bisa berfungsi. Nalar bergantung secara radikal dan aktual pada penyataan. Tapi kelompok tidak menyetujui bahwa Allah tidak dapat konsisten dan dapat berkontradiksi dengan firman Allah sendiri. Karena Allah adalah sempurna dan tidak mungkin dapat menyangkal diri-Nya sendiri.
Tanggapan kepada Penyataan dan Nalar: Kelompok ini sepenuhnya setuju dengan pendapat Agustinus dan Aquinas, bahwa Iman adalah langkah dari penalaran. Jadi tidak dapat dipisahkan antara iman dan nalar. Keduanya diperlukan untuk memahami kebenaran. Tanpa iman manusia tidak dapat percaya kepada Allah, dengan nalar manusia mempunyai pengertian lebih utuh dan lengkap mengenai kebenaran. Karena firman Tuhan itu ada yang dapat dinalar dan ada yang harus diimani terlebih dahulu.

                                                                                  

BAB IV
KESIMPULAN



DAFTAR PUSTAKA

Brown, Colin. Filsafat Dan Iman Kristen. Surabaya: Penerbit Momentum, 2017.
Descartes, René. Discourse on The Method, n.d.
———. Meditations on First Philosophy, n.d.
Geisler, Norman L., and Paul D. Feinberg. Filsafat Dari Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas, 2013.
Nash, Ronald H. Iman Dan Akar Budi. Surabaya: Penerbit Momentum, 2013.



[1] Norman L. Geisler and Paul D. Feinberg, Filsafat Dari Perspektif Kristiani (Malang: Gandum Mas, 2013).
[2] Colin Brown, Filsafat Dan Iman Kristen (Surabaya: Penerbit Momentum, 2017),.
[3] Ibid.
[4] René Descartes, Discourse on The Method, n.d., iv.
[5] René Descartes, Meditations on First Philosophy, n.d., iii.
[6] Descartes, Discourse on The Method, iv.
[7] Brown, Filsafat Dan Iman Kristen.
[8] Ronald H. Nash, Iman Dan Akar Budi (Surabaya: Penerbit Momentum, 2013).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri yang Diunggulkan

Prayer In The Morning

  Prayer To God in the Morning Psalm 143:8 New International Version (NIV) 8  Let the morning bring me word of your unfailin...