BAB I
PENDAHULUAN
Manusia memiliki
kemampuan untuk mempertimbangkan baik atau buruk dan benar atau salah, yang
disebut “nalar”. Nalar ini berfungsi untuk menguji segala sesuatu yang manusia
lihat dan ketahui, untuk kepentingan manusia sendiri. Selain nalar manusia juga
memiliki kemampuan untuk meyakini adanya Tuhan, yang disebut sebagai “iman”.
Iman ini berfungsi untuk mempercayai kekuasaan adikodrati Tuhan untuk
kelangsungan hidup manusia sendiri. Nalar berasal dari logika-logika dalam
otak; iman berasal dari kepercayaan kepada Tuhan.
Dari sifat nalar dan
iman ini banyak filsuf yang mencoba menghubungkan iman dengan nalar, ada juga
yang memisahkan iman dengan nalar. Banyak sekali perdebatan yang tidak kunjung
selesai antara dua kubu ini. Untuk itu karya ilmiah ini ditujukan untuk
memahami apa hubungan antara iman dengan nalar. Karya ilmiah ini memiliki
sumber utama berasal dari buku “Filsafat dari Perspektif Kristiani” ,
Norman Geisler dan Paul D. Feinberg, Malang: Gandum Mas, 2002, 275-294,[1]
juga akan disertai dengan beberapa referensi buku lainnya yang akan menambah
fakta dan data untuk memperdalam pemahaman tentang hubungan iman dengan nalar.
Tak ada gading yang tak retak, penulis meminta kritik untuk karya ilmiah ini
agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi nanti.
BAB II
RINGKASAN BACAAN
Hubungan Antara Iman dengan Nalar
Istilah penyataan dan penalaran, “Penyataan” adalah suatu
penyingkapan secara adikodrati oleh Allah mengenai kebenaran yang tidak mungkin
diketahui oleh kekuatan nalar manusia tanpa dibantu. Sedangkan “Nalar” adalah
kemampuan alami dari pikiran manusia untuk mengetahui kebenaran.
Beberapa filsuf mengklaim bahwa penyataan saja dianggap
satu sumber dari pengetahuan manusia. Menurut
Soren Kierkegaard manusia sama sekali tidak mampu mengetahui suatu
kebenaran ilahi. Beberapa ketidakmampuan nalar manusia yaitu keadaan manusia
yang sudah jatuh dalam dosa. Sifat dosa manusia membuatnya tidak mungkin
mengetahui kebenaran tentang satu Allah yang bersifat paradoksal atau
kelihatannya bertentangan dengan kita. Transendensi Allah, menurutnya
Kierkegaard menyatakan bahwa kebenaran Allah sendiri bersifat di luar nalar
yang sama sekali tidak dapat menjangkau melampaui dirinya sampai kepada Allah.
Nalar tidak mempunyai peranan positif, menurut Kierkegaard bahwa kebenaran
Kristiani hanya dapat diketahui melalui lompatan iman artinya tindakan yang
benar-benar berdasarkan kehendak untuk menghadapi rintangan-rintangan rasional
yang membutakan. Usaha-usaha pembuktian merupakan penghinaan kepada Allah
artinya sebuah upaya rasional untuk membuktikan keberadaan Allah merupakan
penghinaan kepada Allah. Bukti-bukti sejarah tidak berguna karena orang sama
sekali tidak bisa mutlak memastikan bahwa peristiwa-peristiwa ini benar-benar
terjadi.
Menurut Barth, manusia yang jatuh dalam dosa tidak mampu untuk mengenal
Allah yang Mahakudus. Namun apa yang tidak bisa nalar manusia lakukan untuk
menjangkau Allah(dari bawah ke atas), Allah telah melakukannya melalui
penyataan-Nya (dari atas ke bawah). Alkitab adalah alat Allah berbicara, Barth
juga menolak penyataan alamiah menjelaskan bahwa Allah tidak berbicara kepada
kita melalui alam sebab manusia telah jatuh dalam dosa. Dosa ini menyebabkan
kesalahpahaman manusia tentang Allah. Nalar manusia tidak mempunyai kapasitas
baik aktif maupun pasif untuk menerima penyataan ilahi. Pada ujung yang
berlawanan dari spektrum iman dan nalar adalah kaum rasionalis yang menyatakan
bahwa semua kebenaran dapat diketahui melalui nalar manusia.
Immanuel Kant adalah pewaris tradisi Lutheran yang taat dan saleh. Kant
mengklaim bahwa ia mengkritik nalar spekulatif (teoritis) untuk memberi ruang
bagi iman. Kemudian nalar mengharuskan kita untuk hidup “seolah-olah ada satu
Allah”, artinya nalar mengharuskan kita menganggap bahwa Alah ada dengan maksud
agar kewajiban kita dalam hidup ini masuk akal. Nalar juga mengharuskan kita
untuk hidup, seolah-olah berbagai mukjizat tidak terjadi.
Benedict Spinoza menganggap bahwa semua kebenaran hanya diketahui melalui
dalil-dalil yang membuktikan diri sendiri. Rasional geometris menarik
kesimpulan semua kebenaran penting tentang Allah, manusia dan dunia. Menurut Spinoza,
secara rasional adalah perlu untuk menyimpulkan bahwa hanya ada satu substansi
dalam alam semesta, sedangkan segala sesuatu termasuk semua manusia hanya
merupakan mode-mode atau momen-momen yang semacam panteisme. Spinoza tidak
mempercayai persepsi-persepsi inderawi karena menurutnya bukan sumber
kebenaran. Kebenaran hanya ada pada ide-ide, yang hanya diketahui melalui
intuisi rasional.
Nalar melebihi penyataan
Pandangan ini dikaitkan beberapa Bapak Kristen yang
mula-mula, seperti Yustinus Martir dan Klemen dari Aleksandria. Yustinus Martir
percaya pada penyataan ilahi, tetapi selain Alkitab, dia berpendapat bahwa
“nalar” ditanamkan pada manusia dari bangsa mana pun. Klemen dari Aleksandria
bahkan lebih memuji-muji nalar manusia. Salah satunya adalah karyanya Stromata,
menulis sebelum kedatangan Tuhan, filsafat diperlukan bagi orang Yunani untuk
mengetahui kebenaran. Sebab filsafat adalah guru untuk membawa “pikiran
helenis” seperti hukum orang Ibrani kepada Kristus. Klemen tidak hanya
mengagung-agungkan nalar manusia tetapi kadang menyamakannya dengan penyataan
ilahi.
Penelitian Alkitab dari segi sejarah dan sastra secara modern
Contoh, yang menganut pandangan nalar melebihi penyataan
ialah yang dikenal sebagai “kaum liberal”. Gerakan ini dipengaruhi oleh Spinoza,
Kant dan Hegel, yang dengan nalar manusiawi menyimpulkan bahwa Alkitab sebagian
atau seluruhnya bukanlah penyataan dari Allah. berbeda dengan pandangan
historis ortodoks bahwa Alkitab adalah Firman Allah, sedangkan Liberal
menganggap Alkitab hanyalah memuat Firman Allah. Sedangkan kelompok lain
mengagung-agungkan nalar melebihi penyataan yakni penganut Deisme dari abad
ketujuh belas dan abad kedelapan belas. Jadi orang-orang seperti Hobert Cherbuy
(1583-1648), Charles Blount (1654-1693) dan John Toland (1670-1722), menganggap
rendah atau meniadakan unsur-unsur adikodrati dari Alkitab.
Penyataan Melebihi Nalar
Lawan dari kaum semi-rasionalis yang mengagung-agungkan
nalar melebihi penyataan adalah kaum revelasionis keras, yang
mengagung-agungkan nalar. Salah satunya adalah bapa gereja mula-mula, Tertullianus yang dikenal sebagai
pendukung “ penyataan semata”. Dengan mengungkapkan perlunya menggunakan
“petunjuk nalar”. Dan menentang juga orang-orang yang puas dengan berbagai
tradisi yang mereka percayai. Dan juga Tertullianus menganggap bahwa filsafat
tidak berguna, melainkan menganggapnya sama sekali tidak penting bagi orang
percaya. Satu-satunya yang benar adalah penyataan. Cornelius Van Til, pendapatnya sering disebut presuppositionalism karena pendapat itu sangat menekankan perlunya orang menganggap pasti kebenaran penyataan agar
nalar bisa berfungsi. Nalar bergantung secara radikal dan aktual pada
penyataan.
Penyataan dan Nalar
Santo Agustinus
(345-430), menjelaskan hubungan dasar antara nalar
dan penyataan adalah bahwa orang Kristen berpikir berusaha menafsirkan hal yang
layak dipercaya secara dapat dimengerti. Menurut kata-kata Agustinus, “iman
adalah langkah pemahaman”. Tanpa iman terlebih dahulu orang tidak akan pernah
sampai pada pemahaman yang utuh mengenai kebenaran Allah. Iman menuntun orang
menyelami pengetahuan. Oleh sebab itu Agustinus
menganggap bahwa iman lebih dahulu dari pada nalar. Sedangkan Thomas Aquinas, menganggap dirinya
sebagai pengikut setia Agustinus. Banyak filsuf berpendapat bahwa perbedaan
mereka adalah Aquinas mengambil kebenaran Kristen dari Agustinus.
Kesimpulan
Pada hakikatnya, ada satu kesepakatan penting di antara
orang-orang Kristen mengenai hubungan antara iman dan nalar. Salah satunya
adalah kebanyakan orang percaya menafsirkan hal yang layak dipercaya, kemudian
bernalar mengenai iman mereka, meskipun mereka tidak mengaku bernalar itu apa.
Kemustahilan dari pemisah secara total
orang-orang percaya yang secara keras menganut pandangan “penyataan
semata” dengan memberikan argumen-argumen atau alasan-alasan jenis tertentu
yang mendukungnya. Setiap rasionalisme semata terhalang oleh fakta bahwa segala
sesuatu tidak dapat dibuktikan melainkan sesuatu dianggap sebagai pasti atau
dipercaya.
Penganut penyataan semata harus mengakui membedakan
penyataan palsu dengan penyataan asli. Contohnya dalam Alkitab memerintahkan
orang percaya untuk “menguji roh-roh dan kewaspadaan terhadap nabi-nabi palsu.
Jadi pembedaan sangat penting antara pemakaian nalar apakah dalam Alkitab untuk
mengetahui sesuatu penyataan Allah dan dengan pemakaian rasionalisme untuk
menentukan apa dalam Alkitab yang tidak logis. Karena mempercayai segala
sesuatu dapat membabi buta dan menganggap segala sesuatu diterima akal.
Kerancuan Mendasar: “Kepercayaan Kepada” dan “Kepercayaan Bahwa”
Kalau diperhatikan banyak perdebatan di antara
orang-orang Kristen mengenai pandangan mana yang benar menyangkut iman dan
nalar. Ada orang-orang yang menekankan “iman kepada”, tidak memerlukan nalar
untuk mendukungnya. Di sisi lain berbicara tentang “iman bahwa”, Allah
ada. secara logika tampaknya “kepercayaan
bahwa” mendahului “kepercayaan kepada”. Tentu saja tidak ada orang bernalar
yang akan “percaya kepada” kalau tidak memiliki alasan untuk “percaya bahwa”
memang demikian.
Epistemologi dan Ontologi
Memiliki perbedaan cara mengetahui realitas epistemologi
dan realitas ontologi. Realitas ontologi yakni bahwa Allah adalah dasar dari
segala kebenaran, sedangkan epistemologi harus mulai dari “bahwa ke atas” dan
menemukan apakah Allah sungguh-sungguh ada atau tidak. Jadi menurut
epistemologi ini adalah nalar lebih dahulu dari pada penyataan, karena nalar
digunakan untuk evaluasi apakah Alkitab sungguh-sungguh suatu penyataan atau bukan.
Ada kebenaran tertentu pada semua pandangan pokok tentang
nalar dan penyataan itu:
1. “Nalar melebihi penyataan” benar secara epistemologi
karena nalar lebih dahulu dari penyataan. Penyataan diduga harus diuji oleh
nalar.
2. “Penyataan melebihi nalar” benar menurut
ontologis. Allah menciptakan nalar dan nalar harus menjadi hamba-Nya bukan
tuan-Nya.
3. “Penyataan semata” benar dalam pengertian
ontologis karena semua kebenaran datang dari Allah.
4. “Nalar semata” memiliki kebenaran tertentu,
sebab secara epistemologi nalar harus menilai apakah penyataan itu berasal dari
Allah.
5. “Penyataan dan nalar” benar secara karena
menjelaskan perannya masing-masing dan juga menunjukkan hubungan mereka satu
dengan yang lain. orang harus bernalar sesuai penyataan, jika tidak maka dia
memiliki iman yang tidak masuk akal. Demikian juga nalar tidak mempunyai
pedoman tanpa penyataan dan ragu-ragu dalam kesalahan.
Referensi Lain
Descartes
Dalam hal menalar Descartes memiliki prinsip tidak menerima dan menganggap
benar yang tidak diketahuinya dengan jelas bahwa memang benar demikian.[2]
Menurut Descartes tidak ada yang tidak dapat dimengerti dan segala sesuatu
dapat dimengerti dengan logika deduksi yang benar.[3]
Dari pemikiran ini lahirlah kesangsian Cartesian, yaitu pertimbangan falsafi
serius akan segala sesuatu. Dari sini Descartes meragukan pikirannya yang selama
ini hanyalah khayalan dan impian semata. Maka satu-satunya yang tidak Descartes
ragukan adalah bahwa Descartes ragu-ragu. Pemikiran ini melahirkan aksioma yang
terkenal: cogito ergo sum. Karena ketika adanya keragu-raguan dan sedang
berpikir berarti Descartes harus ada.[4]
Descartes menggunakan logika ini kepada eksistensi Allah. Descartes
berpikir bahwa adanya makhluk yang terbatas menyatakan secara tidak langsung
adanya keberadaan yang tidak terbatas.[5]
Ide tentang adanya Tuhan merupakan bukti dari eksistensi Tuhan. Sehingga ketika
Tuhan itu sempurna, tidak mungkin Tuhan akan memperdaya manusia memiliki
pemikiran tidak jelas dan tidak benar tentang eksistensi Tuhan itu sendiri.[6]
Allah dihampiri sebagai Deus ex machina, yang menjamin sah pemikiran
manusia tentang dunia.[7]
Platinga
Ada argumen ontologis dan akar perdebatan epistemologi religius tentang
adanya bukti atau kurangnya bukti bagi keyakinan kepada Allah. Apa yang
dianggap rasional, paling tidak dalam arti rasional tersebut, tergantung pada
jenis metafisik dan pendirian religius apa yang diadopsi; tergantung pada jenis
keberadaan macam apakah manusia itu, dan tergantung pada jenis keyakinan yang
bagaimana yang akan dihasilkan oleh kemampuan berpikir keyakinan tersebut.[8]
Jadi pandangan seseorang terhadap apa itu manusia memengaruhi seseorang
tersebut untuk berpendapat bahwa keyakinan terhadap Allah itu rasional atau
irasional. Bagi yang meyakini bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan maka
eksistensi Tuhan itu rasional, bagi yang meyakini bahwa manusia adalah ciptaan
alam dan evolusi maka eksistensi Tuhan itu adalah ilusi dan irasional.
BAB III
TANGGAPAN KELOMPOK
Tanggapan kepada
pernyataan Soren Kierkegaard: Kelompok ini tidak setuju dengan pandangan ini.
Alasannya adalah karena pernyataan Soren tidak konsisten. Pada satu sisi Soren
mengatakan bahwa karena dosa manusia tidak mengerti kebenaran ilahi, padalah
pada saat itu juga Soren sedang mengerti suatu kebenaran ilahi.
Kelompok ini juga
tidak setuju kepada pernyataan Soren bahwa nalar tidak mempunyai peranan
positif terhadap kebenaran ilahi. Kelompok ini berpandangan bahwa nalar adalah
salah satu pemberian dari Tuhan untuk membantu iman. Nalar berfungsi sebagai
penguji iman yang benar. Tanpa adanya nalar, manusia tidak dapat membedakan
iman yang benar dan yang palsu. Nalar yang diberi Tuhan untuk mengenal Tuhan
tidak mungkin hanya memiliki fungsi untuk menghujat Allah.
Tanggapan kepada
Barth: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Barth bahwa manusia tidak
dapat mengenal Allah dari alam. Padahal ketika kita yakin bahwa Allah itu
menciptakan alam, maka ketika kita melihat alam kita mengerti tentang kebesaran
Tuhan dalam menciptakan alam.
Tanggapan kepada
Kant: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Kant bahwa nalar harus
dipaksa untuk percaya kepada Allah hanya untuk sebatas mempertahankan
moralitas. Kant hanya memilih apa yang diinginkannya tanpa peduli dengan
kekuatan adikodrati Allah. Hal ini menyebabkan Kant tidak konsisten dan
cenderung munafik.
Tanggapan kepada
Spinoza: Kelompok ini tidak setuju dengan pernyataan Spinoza bahwa tidak ada
Allah dan bahwa alam semesta ini adalah satu substansi. Kelompok ini menolak
karena moralitas telah ada jauh sebelum Spinoza. Pernyataan Spinoza tidak dapat
menghilangkan dampak kejahatan di dunia ini. Jika Spinoza menerima segala
sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, maka Spinoza tidak konsisten karena
menolak mukjizat yang empiris di dunia ini.
Tanggapan kepada
Nalar Melebihi Penyataan: Kelompok ini setuju dengan pendapat bahwa nalar
ditanamkan Allah pada semua manusia, sehingga nalar itu juga membantu manusia
mengenal Allah. Tetapi kelompok tidak setuju dengan pendapat kelompok liberal
yang mengatakan bahwa kebenaran dalam Alkitab yang tidak sesuai dengan nalar
harus dihilangkan, karena memang banyak hal-hal adikodrati dan yang tidak masuk
akal terjadi di Alkitab.
Tanggapan kepada Penyataan Melebihi Nalar: Kelompok ini
setuju dengan bagian di mana bahwa nalar sebagai hamba dari penyataan atau
pembela iman. Kelompok ini setuju juga terhadap perlunya orang menganggap pasti
kebenaran penyataan agar nalar bisa berfungsi. Nalar bergantung secara radikal
dan aktual pada penyataan. Tapi kelompok tidak menyetujui bahwa Allah tidak
dapat konsisten dan dapat berkontradiksi dengan firman Allah sendiri. Karena Allah
adalah sempurna dan tidak mungkin dapat menyangkal diri-Nya sendiri.
Tanggapan kepada Penyataan dan Nalar: Kelompok ini
sepenuhnya setuju dengan pendapat Agustinus dan Aquinas, bahwa Iman adalah
langkah dari penalaran. Jadi tidak dapat dipisahkan antara iman dan nalar.
Keduanya diperlukan untuk memahami kebenaran. Tanpa iman manusia tidak dapat
percaya kepada Allah, dengan nalar manusia mempunyai pengertian lebih utuh dan
lengkap mengenai kebenaran. Karena firman Tuhan itu ada yang dapat dinalar dan
ada yang harus diimani terlebih dahulu.
BAB IV
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Brown, Colin. Filsafat
Dan Iman Kristen. Surabaya: Penerbit Momentum, 2017.
Descartes, René. Discourse on The
Method, n.d.
———. Meditations on First Philosophy,
n.d.
Geisler, Norman L., and Paul D.
Feinberg. Filsafat Dari Perspektif Kristiani. Malang: Gandum Mas, 2013.
Nash, Ronald H. Iman Dan Akar Budi.
Surabaya: Penerbit Momentum, 2013.
[1] Norman L. Geisler and Paul D. Feinberg, Filsafat Dari Perspektif Kristiani
(Malang: Gandum Mas, 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar