Perspektif Alkitabiah Pelayanan Kaum Awam
Pelayanan adalah sebuah anugerah yang Tuhan
percayakan kepada kita. Meskipun kita tidak layak, tetapi Tuhan melayakkan kita
untuk ikut ambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Banyak orang yang masih membagi
umat Allah dalam dua bagian, yaitu para
rohaniwan dan para kaum awam.
Para rohaniwan yang dianggap layak untuk mengerjakan tugas-tugas pelayanan,
sedangkan orang awam hanyalah kaum biasa-biasa saja yang pasif. Tentunya
dikotomi ini tidak alkitabiah dan dapat merusak fungsi umat Allah yang sesungguhnya.
Isu mengenai pelayanan kaum awam telah
menjadi suatu topik populer dalam banyak artikel dan buku-buku, serta
disampaikan dalam banyak khotbah. Selain itu, Strauch (Biblical Eldership) menyatakan
bahwa masalah tentang pembaruan kaum awam telah menjadi suatu bahan diskusi
yang meluas. Selain populer, teologi kaum awam banyak disalah mengerti. Bahkan
istilah "awam" seringkali ditafsirkan secara salah. Kaum awam kerap
dianggap setara dengan golongan "nonprofesional", ketika ditinjau
dari keahlian atau kemampuan khusus tiap individu. Dalam organisasi-organisasi
keagamaan, orang awam dianggap sebagai "kaum percaya biasa" yang
berbeda dari "pengerja" penuh waktu atau hamba Tuhan.
Dampak konsep tersebut adalah pembagian umat
Allah ke dalam dua tingkatan, yaitu struktur pengerja penuh, yang menampilkan
fungsi-fungsi religius masyarakat, dan sejumlah besar kaum awam yang tidak
berkualifikasi. Pembagian itu merupakan hasil tiruan pola kepemimpinan
"Graeco-Roman", yang membagi administrasi kota menjadi dua bagian
yaitu: "para pegawai", yang memimpin dan "kaum awam", warga
yang polos serta tidak berpendidikan. Jika pola tersebut diterapkan pada
pelayanan di gereja, maka dapat menyebabkan perpecahan yang menghancurkan,
menghilangkan partisipasi penuh umat Kristiani dalam pelayanan, serta mencegah
pertumbuhan atau kedewasaan Rohani.
Konsep Awam dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Dalam rangka mencegah dikotomi dan
mengembangkan suara teologia awam, istilah "awam" harus dijelaskan
dengan menggunakan sudut pandang alkitabiah. Istilah tersebut diambil dari kata
sifat bahasa Latin "laicus", yang sama dengan kata sifat bahasa
Yunani "laikos", yang berarti "milik masyarakat". Kata
bendanya adalah "laos", yang mengekspresikan konsep yang signifikan, karena
muncul 2000 kali dalam Septuaginta dan ditambah 140 kali dalam Perjanjian Baru.
Dalam Perjanjian Lama (Keluaran 19:4-7; Ulangan 4; Ulangan 7:6-12), "laos" biasanya mengacu kepada
bangsa Israel. Kata tersebut mengandung "nilai khusus bagi masyarakat,
karena keaslian dan tujuannya dalam kasih karunia yang Tuhan tentukan. Bangsa
Israel menganggap diri mereka sebagai 'laos theou' (umat pilihan Allah)".
Secara teologis, hal tersebut menunjukkan bahwa Bangsa Israel adalah suatu
bangsa yang terpisah dari bangsa-bangsa lain di dunia, yang disebabkan oleh
pilihan Tuhan atas mereka sebagai milik-Nya (Ulangan 7:6). Mereka
memperoleh status istimewa sebagai "umat Allah". Meskipun demikian,
umat Allah tidak hanya menerima status istimewa, tetapi juga pelayanan
istimewa. Bucy menjelaskan lebih lanjut, "seluruh kaum awam merupakan
'milik Tuhan', dipilih bukan sekadar memperoleh hak-hak istimewa, tapi untuk
pelayanan istimewa. Perhatikan juga bahwa sifat pelayanan tersebut, dijabarkan
dalam hubungan langsung dengan hak Tuhan atas 'seluruh bumi'. Bangsa Israel
terpanggil dari antara 'segala bangsa', untuk melayani sebagai suatu 'kerajaan
imam dan segala bangsa yang kudus', mewakili kerajaan-kerajaan dan
bangsa-bangsa di dunia". Singkat kata, umat Allah atau kaum awam,
dipanggil untuk memenuhi misi penebusan Allah bagi perdamaian dunia.
Umat Allah dalam Perjanjian Lama hanya
mengacu pada Bangsa Israel. Dalam Perjanjian Baru, umat Allah mengacu kepada
bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain. Mengenai hal tersebut, Kraemer menegaskan
bahwa Yahweh ingin bangsa Israel menjadi kudus-Nya, yang merespons sepenuhnya
kepemilikan Tuhan yang telah memilih mereka. Hal yang sama berlaku bagi gereja.
Gereja disebut sebagai "umat yang
terpilih, imamat rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah." (1 Petrus 2:9) Secara
khusus, gereja dalam 1 Petrus 2:5
digambarkan sebagai "batu-batu hidup", yang dibangun menjadi sebuah
rumah Rohani, dan mereka mempersembahkan korban-korban rohani yang berkenan di
hadapan Allah melalui Yesus Kristus. Kedua pasal memperlihatkan bahwa gereja
terdiri dari orang-orang percaya yang disebut "suatu keimamatan".
Kata Yunani untuk keimaman ialah "hierateuma", yang menunjukkan suatu
gagasan komunitas masyarakat yang melayani sebagai "imam". Oleh
karena itu, gereja merupakan komunitas imam atau keimaman dari orang-orang
percaya, yang hanya mungkin terjadi melalui Yesus Kristus, Imam Besar
perjanjian yang baru, yang telah mengorbankan diri-Nya dan menguduskan, serta
menyempurnakan orang-orang percaya sekali untuk selamanya (Ibrani 9:15; 10:10,14).
Konsekuensinya yaitu seluruh orang percaya boleh mempersembahkan korban secara
langsung melalui Kristus. Mengenai hal ini, Kung menyatakan demikian,
"Bila seluruh orang percaya harus mempersembahkan korban lewat Kristus
dengan cara tersebut, berarti mereka memiliki fungsi Imam, dalam pengertian
yang sama sekali baru, melalui Kristus Sang Imam Besar dan Pengantara.
Mengabolisikan kasta istimewa keimaman dan pengertiannya oleh Imam Besar yang
baru dan kekal, menurut konsekuensinya yang unik namun logis, memiliki fakta
bahwa seluruh orang percaya terlibat dalam keimaman secara universal."
Hakikat Gereja
Kenyataannya, konsep keimaman orang-orang
percaya diperoleh dari sifat gereja itu sendiri, yaitu umat Allah, tubuh
Kristus, bangunan rohani, dan Bait Roh Kudus. Konsep itu diperluas sebagai
berikut.
Gereja adalah Umat Allah
Artinya seluruh anggota gereja mempunyai
persamaan yang mendasar. Tidak ada istilah kelas atau kasta dalam hubungan
antar anggota, karena semuanya adalah: "orang-orang terpilih",
"orang-orang kudus", "murid-murid", dan
"saudara-saudara". Selain itu, "tidak ada jarak" antar
anggota dan tidak ada penduduk kelas dua dalam keluarga Allah. Tentang
persamaan, umat Allah diangkat martabatnya sebagai pelayan-pelayan Yesus
Kristus. Gibbs dan Morton dengan tegas menyatakan, "Doktrin sejati kaum
awam sebagai umat Allah, yang bermitra bersama-sama tanpa perbedaan
kelas."
Gereja adalah Tubuh Kristus
Tentang karakter yang saling berkaitan dari
anggota-anggota gereja (Roma 12:4-8;
1 Korintus 12:12), tubuh
dibangun oleh anggota-anggota yang saling bergantung satu sama lain sebagai
kesatuan tubuh. Seluruh anggota tubuh Kristus memainkan peranan penting.
Masing-masing memiliki martabat dan fungsi "semuanya saling melayani dalam
simpati dan kasih yang menguntungkan, serta dalam sukacita".
Gereja adalah Bangunan/Bait Rohani
Gereja adalah bangunan/bait rohani, yang
berarti bahwa Roh Kudus tinggal di dalam seluruh orang-orang percaya (Kisah Para Rasul 2).
Akibatnya, seluruh umat Kristen dibenarkan, dituntun dan dipimpin, serta hidup
oleh Roh Kudus. Dalam 1 Korintus 3:16
dan Efesus 2:22, Rasul Paulus
menekankan bahwa Roh Kudus berdiam dalam hati orang-orang percaya. Mereka
adalah bait Allah yang kudus. Konsep bait Allah yang kudus di bumi dipersamakan
dengan komunitas Kristen yang dimungkinkan hanya melalui Yesus Kristus; hanya
melalui Dia, bait Allah yang kudus digantikan oleh "bangsa yang
kudus".
Gereja adalah Bait Roh Kudus
Ketika suatu gereja dikatakan sebagai Bait
Roh Kudus, hal itu mengandung arti setiap anggota gereja adalah suatu Bait yang
dipenuhi oleh Roh Kudus. Dalam bentuk ini, Bait tersebut dibangun atas
"kunci kehidupan" dan "batu penjuru", Tuhan Yesus, yang
telah dibangkitkan dari antara orang mati, batu hidup dan yang setia. Bentuk
Bait Keimaman merupakan kelanjutan dari bentuk yang baru saja diperkenalkan (1 Petrus 2:4). Lebih lanjut
dikatakan, konsep itu tidak diperuntukkan bagi keimaman resmi suatu kelompok
Kristen tertentu, tapi bagi semua orang percaya. "Semua orang yang
dipenuhi oleh Roh Kristus, menjadi suatu keimaman yang terpisah; seluruh umat
Kristen adalah hamba Tuhan".
Catatan kaki:
Alexander
Strauch, Biblical Eldership: An Urgent Call to Restore Biblical Church
Leadership (Littleton: Lewis and Roth, 1986), 91
Dalam
Bucy, The New Laity, 15
F.B
Edge, "Into The World, so Send You' dalam The New Laity: Between Church
and World, R.D Bucy, ed (Waco: World, 1978), 14
F.B.
Edge, The Doctrine of the Laity (Nashville: Convention, 1985), 28
G.
Ogden, The New Reformation Returning, The Minitry to the People of God (Grand
Rapids: Ministry Resourch Library), 11
Hans
Kung, The Church (Garden City: Image 1976), 473
Howard
A. Snyder, The Problem of Wine Skins: Church Stucture in A Technological Age
(Downers Grove: InterVarsity, 1975), 102
Kung,
the Church, 474
M.
Gibbs & T.R. Morton, God's Frozen People: A Book for and about Christian
Layman (Philadelpihia: Westminster,1964), 15
R.D.
Dale, Sharing Ministry whit Volunteer Leaders (Nashville: Convention Press,
1986), 13
R.D.
Nelson, Raising Up A Faithfull Priest: Community and Priesthood (Lousville:
Westminster, 1003), 160
R.P.
Stevens, Liberating the Laity: Equipping All the Saints for Ministry (Downers
Grove: InterVarsity, 1985), 21.27
Snyder,
The Problem of Wine Skkins, 102
Strauch,
Biblical Eldership, 101
V.J.
Dozier, Toward A Theology of Laity: Lay Leaders Resourch Notebook (Washington:
Alban Intitute, 1976), 16
Tidak ada komentar:
Posting Komentar